Halaman

Senin, 23 April 2012

Curhat sama mamah

Mah, tau ga sih beberapa kali Ry bilang ngerasa cape sama Wibi. Beberaa hari lalu aja dia bilang ngerasa ga sanggup bareng wibi. Pernah dia juga minta putus Mah, tapi wibi ga mau. Wibi bujuk dia lagi supaya ga jadi ninggalin wibi.

Tiap dia bilang cape, tiap dia bilang putus, wibi lemes mah. Kaya ga punya tenaga. Wibi udah sayang banget sama dia Mah, terus katanya juga dia udah sayang banget sama wibi. Tapi kenapa dia suka kaya gitu? Emang sih wibi suka ga peka sama perasaan dia, suka bikin bete dia dan kadang ga ngertiin dia. Sebenernya emang kadang wibi bener-bener ga ngerti apa kepengennya dia. Dia juga ga ngomong maunya apa. Kan jadi bingung.

Wibi ga mau kehilangan orang yang wibi sayangin lagi mah. Wibi maunya cuma dia yang bakal dampingin wibi nanti. Mungkin dia ga ngerti artinya kehadiran seseorang dihidupnya, baru akan dia rasakan benar ketika orang itu telah jauh atau mungkin telah pergi dari kehidupan kita. Wibi ga mau itu dirasain sama dia, karena wibi tau kalau di lubuk hatinya, dia sangat sayang sama wibi. Mah doain wibi supaya hubungan ini langgeng ya Mah, restui wibi...

Jumat, 06 April 2012

Sebuah Catatan Tempo Dulu

Catatan yang ku tulis pada tanggal 9 Desember 2011
(pada saat itu entah mengapa aku teringat sosok mamah dan merasa takut jika harus jauh dari mamah)

Kini dunia mulai menghimpitku. Semua yang ku lihat acuh padaku, seolah tak mempedulikanku yang berjalan di hadapnya. Yang sebelumnya ku lihat ramah pada ku, kini tak lagi mengenalku. Apakah mereka amnesia, atau apa yang ku alami selma ini bersama mereka hanya dalam hayalanku saja?
Aahh... Sekarang sulit aku membedakan mana yang nyata dan mana yang maya.

Suatu ketika yang ku alami itu mimpi, namun ternyata itu nyata. Dan kadang yang ku rasa itu nyata, namun ternyta hanya mimpi. Apa batas dan beda antara nyata dan tidak? Ku harap yang ku alami kini hanya mimpi dan ketika ku buka mata ku dapati semua indah tersenyum padaku. Tak lagi acuh, namun ramah.

Tapi kini yang masih ku rasa dunia menghinaku, mengacuhkanku. Pepohonan, ranting, dedaunan, rumput, angin, tiang-tiang lampu jalan, kendaraan-kendaraan yang lalu lalang, aspal dan tanah yang ku pijak sulit ku ajak bercengkrama..
Hey ada apakah ini? Bukankah kalian sebelumnya bisa bicara? Kenapa diam? Bahkan senyum pun enggan. Apa gerangan yang buatmu demikian?
Ayolah kawan kita kembali bersenda gurau melewati hari-hari yang kadang menyebalkan. Kalian pun mrasakannya bukan?
 Aahh... kenapa kehidupan ini begitu kejam? Semakin ku mengerti hidup, semakin ku rasa itu menakutkan. Tak seperti balita-balita yang tertawa dan menangis tanpa mengerti apa itu kehidupan. Aku rindu masa-masa itu mamah. Rindu kau usap dan engkau tenangkanku ketika ku menangis hingga kau berhasil tenangkanku. Engkau cium ketika ku sedih dan gembira. Aku rindu itu.

Kini, aku merasa berat menjalani masa depan yang tak pernah ku tau. Ajari aku untuk bisa tenangkan diriku seperti waktu aku kecil. Ajari aku untuk bisa tersenyum kembali seperti ketika ku jatuh waktu kecil.
Waktu kecil, kau mampu membuatku tersenyum dan tertawa kembli ketika ku jatuh, walau sakit. Kini aku tak mengerti bagaimana caranya aku bisa tenang, tersenyum ketika ku takut, ketika ku sakit. Ajari aku mamah, ajari tentang menghadapi hidup yang kejam.

Engkaulah pahlawanku yang selalu membelaku, taj peduli aku benar atau salah. Kau tinggikan aku, kau banggakan aku. Aku ingat kata-katamu ketika aku takut atau ketka aku terjatuh.
"anak mamah harus kuat, ga boleh nangis".

Aku butuh kata-kata itu dari mulutmu ketika kini aku takut menghadapi masa depan ku.
Dulu kau tuntun aku ketika ku mulai belajar berjalan, kau ajak ngobrol aku ketika aku ngoceh sendirian. Aku tau kau pun tak mengerti apa yang ku ucapkan waktu itu, tapi kau seolah mengerti.
Kini ku harus merangkak dan berjalan sendri melangkahkan kakiku dalam hamparan kehidupan ini. Aku tau kau percaya kalau aku mampu seperti halnya kau percaya ketika ku belajar berjalan waktu bayi.
Mamah, anakmu bingung, anakmu takut layaknya pecundang dan pengecut. Anakmu takut tak bisa membahagiakan dirinya, apalagi membahagiakan dirimu.
Mamah, aku ingin dengar bisikanmu di telingaku
"kamu kuat, kamu anak mamah pasti bisa".

Mamah, lihatlah kini semua seolah memusuhiku. Enggan untuk ku ajak bicara. Tidak seperti mu yang mengajakku bicara walau kau tak mengerti bahasa ku waktu bayi. Kau ajak ku bicara dan tersenyum yang membuat ku ikut tersenyum dan tertawa melihat tingkah dan ucapanmu yang tak ku mengerti. Tapi kau ajarkan pada ku bahasa cinta dan kasih sayang. Bahasa yang di pahami semua manusia dan semua umur. Bahkan di pahami oleh seluruh alam. Tapi lihatlah mereka yang kini acuh. Bahkan kini umat manusia tak lagi mengerti bahasa cinta, tapi menggunakan bahasa keserakahan. Siapa yaang kuat itulah yang menang tidak bicara siapa yang lemah harus di kuatkan.

Kehidupan yang ku pahami kini tidak seperti yang kau ajarkan dulu mamah. Aku bingung apakah kau yang salah mengajarkan atau dunia yang kini telah berubah?  Anakmu terlalu durhaka untuk meminta uluran tanganmu, untuk meminta peluk cium mu.. Aku malu..

Engkau memang pahlawan tanpa tanda jasa yang berjuang keras agar anakmu tak repot menjalani hari-harinya. Pahlwan yang selalu membela atas nama cinta.  Ajari aku untuk mengajarkan cinta pada dunia ini agar tak lagi ada kekacauan.

*di tengah kegundahan ku, ku persembahkan utk mu mamah.
Selamat hari ibu (walau masih lama)
9 Desember 2011

Kamis, 05 April 2012

Selamat Jalan Mamah (2)

Jum'at, 9 Maret 2012

Pagi itu mamah minta pulang aja. Aku bilang nanti nunggu papah, karena pagi-pagi papah pulang untuk berangkat ke kantor. Dokter memeriksa sekitar jam 8. Dokter menyarankan untuk dirujuk ke Bandung saja, karena di sini angkat tangan. 

Sekitar jam 10an papah datang dan meminta pendapatku tentang mamah. Papah juga meminta pendapat mamah mau dibawa ke bandung atau tidak. Tapi mamah geleng kepala. Mamah minta pulang saja. Aku pun begitu. Ngapain juga dibawa ke bandung. Mending di rumah, atau di sini aja. Biar bisa dapet infus supaya ga lemes. 
Saat papah datang, papah bilang

"mah, kenal ga ini siapa?" sambil menunjuk dadanya sendiri.
"papah, hehe.."
"kirain ga kenal"

Papah pun kembali ke kantor untuk meminjam mobil untuk bawa pulang mamah dan meminta pendapat teman-teman kerjanya. 

Kembali mamah meminta pulang dan menanyakan papah. Aku bilang nanti saja pulangnya nunggu papah, mungkin habis jum'atan. 

"eh belum bedug tah? kirain tuh udah bedug. mamah mau pulang aja lah. Cape di sini terus. mau istirahat. Mamah tuh pengen tidur yang nyenyak, jangan sampe ada yang ganggu tuh. duh, masih lama ya bedugnya?" kata mamah.

"belum mah. ini baru juga jam 9 pagi. Nanti aja pulangnya, nunggu papah dateng."
"kalau mau tidur, sini di pangkuan wibi. Nyandar di Wibi aja"

"Duh, masih lama ya bedugnya wib?, cape ah"

Sekitar jam setengah 10an mamah mau kencing. Ga seperti biasanya, kali ini mamah minta kencing di WC. Aku sarankan untuk kencing di kasur aja pake pispot, tapi mamah menolak. Akhirnya aku setengah bopong mamah ke WC dengan susah payah dan dibantu Nok dan tante Neneng. Begitu sulitnya mamah untuk kencing di WC dengan kondisi kesakitan seperti itu, membuat kamiu pun bingung setengah mati. Empat orang berada dalam 1 WC. Keningku bercucuran keringat dingin waktu menahan berat badan mamah yang lemah untuk jongkok. Yang bikin sulit adalah aku hanya bisa memegangi bagian tubuh mamah sebelah kanan saja, karena sebelah kirinya ada luka bekas jaitan. Kami kewalahan, dan mamahpun menjerit-jerit kesakitan. 

Setelah selesai tinggal kami mengangkat mamah dan membawanya kembali ke kasur. Perjalanan yang hanya beberapa meter saja serasa jauh dan membuat kami kepayahan.

Sejak saat itulah mamah merintih kesakitan. Mamah minta tiduran, tapi yang ada malah tambah kesakitan dan sesak napas. Aku pun mengangkat mamah untuk duduk dan membiarkannya bersandar di tubuhku. Mulailah mamah agak tenang. Tapi entah kenapa mamah kembali sekarat sekitar jam 11. Kebetulan saat itu banyak saudara-saudara mamah yang datang. Beberapa diantara mereka meneteskan air mata menyaksikan rintihan dan sekaratnya mamah. 

Hari itu aku tidak solat Jum'at. Aku lebih memilih berada di samping mamah. Karena yang ada di situ perempuan semua yang tidak mungkin dan tidak mengerti cara merawat mamah. Terlebih lagi kalau mamah kencing atau buang air besar. Aku putuskan untuk tidak solat Jum'at. Semoga Allah mengampuni. 

Setelah selesai solat Jum'at dan papah datang, kondisi mamah semakin menghawatirkan. Mamah seperti sakaratul maut. Sebelumnya mamah memanggil semua anak-anaknya. Papah pun akhirnay menelpon Budi untuk segera pulang ke Cirebon siang itu juga, karena Budi baru saja seminggu yang lalu berangkat kuliah setelah sebulan liburan. 
Ketika Purnomo, Widia datang, mamah tidak mengenali. Hampir semua yang ada di situ menangis, mungkin cuma aku yang ga nangis. Aku hanya senyum memandangi wajah teduh mamah yang sedang merintih. Entah kenapa aku merasa itulah hari terakhir aku bisa melihat wajah mamah. Aku bisikan di telinga mamah bacaan syahadat.

"mah, mamah masih dengar suara wibi kan? Kalo masih dengar, ikuti suara wibi ya?"
"mmmhh...iaaa", jawab mamah sambil merintih dan mata terpejam.
"asyhadualaa ila ha ilallah....wa'asyhaduana muhammadurosulullah...." ucapku pelan di telinganya.
"awhhh ahh ahhh...ihh aahhh aaahhh...iihh awhhh ahhhh..... mmmmhhh..." dengan suara yang samar-samar tak jelas, mamah mengikuti ucapanku. Aku cium keningnya sambil ku bacakan salawat.
"Mah, maafin salah wibi ya. Wibi belum bisa jadi anak yang baik, belum bisa nyenengin mamah. Wibi selalu bikin susah mamah dari kecil sampe gede gini. Ampunin wibi mah."

Setelah itu mamah sekarat tak karuan lagi, selang infus dan selang oksigen pun dilepasnya. darah dari infus pun berceceran membasahi selendangnya. Aku suruh Nok untuk memanggil perawat agar memasangkan kembali infusnya. Saat aku tenangkan mamah, mamah melihat tangannya yang berlumuran darah,

"ih ini darah ya? tuh berdarah ya...ga papa laah..mmhhh...aahh.."

Aku baringkan mamah seenak mungkin agar tidak terlalu sesak napas. Aku ganjal kepala mamah dengan tumpukan-tumpukan bantal agar posisi kepala agak mengangkat, karena mamah udah tidak bisa dibawa duduk. Mulai saat itulah mamah sakaratul maut. Aku tak henti-hentinya membisikan kalimat tauhid di telinga mamah. Aku bacakan syahadat, tahlil, istigfar, agar mamah terus mengingat Allah. Di samping mamah, nok pun membacakan yasin.

Selama sakaratul maut aku tak beranjak dari samping mamah dan terus membisikan kalimat Allah ditelinganya. 

"mah, ayo jangan berhenti nyebut Allah. baca syahadat mah. Jangan sia-siain akhir hidup mamah. Kalau susah, cukup baca Allah..allah..allah..."
"awaaahhh awaahh.... aaahhh, ada setan!!" racau mamah.
"ayo mah, makanya terus sebut allah. jangan dengerin setan". "audzubillahi kalimati minsyarimaa kholaq" ku usap muka mamah.

Saat kondisi mamah seperti itu aku sms ke Wa Elang untuk mengabarkan kondisi mamah. Wa Elang menyuruh papah untuk menelponnya. Akhirnya papah menelpon wa elang. Papah disuruh membacakan doa ke dalam segelas air, dan air itu diminumkan ke mamah. Katanya supaya jalannya dimudahkan.

Selama beberapa jam mamah sakaratul maut dan hanya ucapan Allah yang terdengar samar dari mulut mamah. Aku bisikan pelan di telinga mamah:

"mah, kalau mamah mau pergi, silahkan. Kita di sini udah ikhlas ko. Silahkan mamah pergi dengan tenang, apa lagi yang di beratkan mamah?"

Aku pegang dari kaki hingga kepala mamah. Hanya tinggal kepala saja yang masih hangat, selebihnya sudah dingin. Aku teringat ucapan mamah yang ingin pulang setelah bedug, tapi bedug apa?? Bedug duhur sudah lewat dari tadi. Sekarang sudah jam 2 dan hampir ashar. Aku pun teringat ucapan papah tadi. 

"mamah tinggal nunggu hari baiknya, mungkin nunggu hari lahirnya, hari sabtu"


Wah, kalau hari Sabtu masih lama donk pikirku. Masih harus melewati 1 malam lagi. Kasihan mamah kalo gitu. Tapi kata papah kalau sudah sore itu sudah ikutnya hari sabtu. Aku langsung berpikir apa mungkin yang dimaksud tuh bedug ashar??


Tak henti-hentinya aku membisikan mamah kalimat-kalimat allah supaya mamah jangan sampai berhenti berucap, meski dalam hati karena mulut sudah sulit untuk mengucapkan secara jelas. Hanya hembusan nafas saja yang bisa keluar diiringi suara menyebut "allah" secara samar.
Makin lama nafas mamah semakin melemah. Azan ashar pun berkumandang disertai mendung. Aku pun berbisik lagi di telinga mamah, karena sebagian kepala pun mulai dingin.

"mah ini sudah bedug mah, bedug ashar. Kalau mamah mau pulang, silahkan. Wibi ikhlas, semua yang ada di sini juga ikhlas. Apa yang mamah beratkan lagi? Pergi yang tenang ya mah. Maafin semua salah wibi dan semuanya, kita semua juga udah maafin salah mamah. Maaf kalo wibi banyak dosa ke mamah, wibi sayang sama mamah. Setelah ini, mamah ga akan ngerasain sakit lagi. Mamah bisa istirahat. Mamah ga bisa dateng wisudaan Wibi juga ga papa, yang penting mamah tenang di sana. Salam buat para malaikat yang jemput mamah, salam juga buat Gusti Allah."
"yaa ayatuhannafsul mutma'inah irji'i ila robbiki rodiatan mardiyah, fadkhuli fii ibadi fadkhuli jannah..."
"laa ilaa ha ilallah....muhammadurosulullah"


Setelah aku berucap itu, tepat ketika sayup-sayup suara azan berhenti, sekitar pukul 15.14 (jam di hp ku) mamah menarik nafas dalam dan sangat pelan, kemudian menghembuskan nafas terakhirnya disertai dengan turunnya hujan. Semoga ini pertanda baik, karena hujan adalah rahmat dari Allah. Alhamdulillah, mamah sudah pergi dengan tenang dan selamat.

Semua yang menyaksikan itu menangis, tak terkecuali papah yang meneteskan air mata. Tante neneng, nok, adi, widia, purnomo, tante nani, mba erna semuanya nangis. Uwa Sri yang datang terlambat pun sudah menangis duluan sejak di jalan menuju kamar mamah. Tapi entah mengapa aku tersenyum lega melihat mamah pergi. Sampai ada yang bilang kenapa aku tidak nangis, malah senyum-senyum? Aku senyum melihat mamah tak lagi menderita kesakitan, tak lagi menderita menahan kantuk yang amat sangat, tak lagi menderita lelah dan beban pikiran yang bertumpuk tentang dunia. Hari itu mamah akan bertemu dengan Sang Khaliq Pemilik kehidupan. Aku lega dan puas atas semua upaya papah untuk berjuang menyembuhkan mamah, walaupun akhirnya Allah berkehendak lain. Setidaknya semua ikhtiar sudah dicoba, semua syariatnya sudah dijalankan, yaitu terus berusaha dan berdoa.

Wajah mamah teduh dan terlihat cerah. Tidak seperti biasanya. Memang selama sakit wajah mamah aneh. Terkadang terlihat pucat, lesu, tetapi kadang juga terlihat cerah seperti tidak sakit. Air mataku tak keluar sama sekali. Aku kecup kening mamah sekali lagi.


Tidak seperti biasanya orang meninggal yang tubuhnya kaku, tubuh mamah sangat lemas. Tidak sulit untuk menyilangkan kedua tangan mamah di dada. 
Selamat jalan mamah, semoga engkau tenang di sana.

Setelah dokter dan perawat memeriksa, dokter memastikan mamah telah pergi. Aku disuruh papah untuk mengurus adminstrasi di Rumah Sakit dan membawa mamah pake mobil ambulan. Sementara saudara-saudara yang lain pulang duluan dengan papah pake mobil pinjeman. Aku dengan dibantu bapak-bapak dari keluarga pasien kamar sebelah menggotong mamah ke ranjang untuk kemudian di bawa ke tempat di mana ambulan menunggu.


Tinggallah aku duduk berdua dengan sopir ambulan. Aku memandang jauh ke depan, menembus derasnya hujan seolah memandang mamah yang sedang berjalan pergi menjauh menerobos lebatnya air hujan dan melambaikan tangan. Alam pun serasa menjadi melankolis dan dramatis dalam guyuran hujannya. Aku pun menghela nafas panjang.. fiiiuuuuhhh......


Mungkin inikah jawaban kegundahanku beberapa bulan yang lalu, ketika aku tiba-tiba teringat mamah dan seolah mamah akan pergi jauh?? padahal waktu itu mamah masih sehat-sehat saja. Aku pernah menulis note atau catatan kecil di fesbuk tentang mamah.
Mungkin inikah firasatku tempo hari, yang tiba-tiba aku ingin belajar memandikan jenazah dan kembali membuka buku tata cara solat jenazah??

Selamat jalan Mamah, meski engkau telah tiada dan jasadmu berkalang tanah, namun jiwamu ada di hati kami semua. Di hati papah dan anak-anakmu....



"di sebuah ruang sunyi beratapkan rindu"


Anakmu..