Halaman

Minggu, 31 Januari 2016

Untuk Kamu yang Sempat Hadir


Untuk kamu, Yang sempat hadir.

Apa kabar? Sudah lama kita tak jumpa. Jangankan berjumpa, saling sapa pun sudah tidak. Aku maklumi itu semua. Aku menghargai kehidupanmu, dan kau? entahlah masih peduli dengan hidupku atau tidak.

Mungkin kamu akan bertanya, kenapa aku menulis ini semua? Jika kau mengira, karena aku ingin mencuri perhatianmu tentu tidak. Untuk apa. Lalu jika kau mengira, aku ingin mendramatisir keadaan itupun tidak. Sama sekali tidak.
Aku menulis semua ini hanya karena rindu. Tak pernahkah kau merasakannya juga? Aku harap kau sempat merindukanku walau hanya semalam. Setidaknya kau mengingat bagaimana aku tertawa lalu menangis. Setidaknya kau mengingat bagaimana susahnya berusaha dan mudahnya menyerah.

Cinta kita hanyalah cinta monyet. Cinta yang tumbuh dibawah atap kampus. Cinta yang terus tumbuh hanya karena memandang dari jauh. Cinta yang terus tumbuh ketika kita bertukar sapa dan senyum. Cinta yang terus tumbuh karena pipiku merona setiap kali mendengar namamu. Manis. Aku masih bisa merasakannya walaupun hanya sedikit mengingatnya.

Aku masih ingat betapa lucunya saat pertama kali aku melihatmu. Kita terlihat canggung. Lalu saling tersenyum sesudahnya. Aku masih ingat saat kau dg lugunya memujiku hingga aku hilang kesadaran sejenak karena belum pernah dipuji wanita seperti ini. Sampai aku lupa harus melanjutkan pembicaraan apa. Hilang konsentrasiku.

Aku juga masih ingat betapa indahnya hujan kala itu. Hujan yg menahanku untuk tetap berada di sebelahmu, di depan kosanmu. Serasa rinai turun tersenyum menggodaku yg malu dan grogi kala itu.
Aku juga masih ingat soal hujan. Aku terus melajukan motor dengan cepat agar kau tidak lama terkena hujan dan kedinginan. Kau hanya bisa bersembunyi sambil mengeratkan pelukan dibalik punggungku. Kau tidak tahu, seberapa banyak aku tersenyum saat itu..

Aku tidak peduli, apakah aku cinta pertamamu atau bukan. Aku menyimpan memori dalam hidupmu atau tidak. Yang aku tahu aku merasakannya. Cukup aku.
Tapi ketahuilah, kau kekasih pertamaku. Kau membuatku mengenal banyak hal untuk pertama kalinya. Kau membuat aku belajar untuk pertama kalinya.
Kau orang pertama yang membuatku merasa berharga dan merasa dihargai. Kau membuat aku merasa bahwa kau adalah seseorang yang patut diperjuangkan. Bukan orang yang selalu menunggu, menanti bahkan meminta.

Untuk kamu, yang sempat hadir.

Maaf aku sempat membuatmu muak. Dengan sikapku yang kekanak-kanakan. Yang sering mengeluh, yang sering berdrama dengan segala masalah. Kau selalu mengingatkanku. Dan lagi, aku terlambat menyadarinya. Aku tau aku salah, tapi siapa yang peduli saat itu. Yang aku tau hanya, cinta itu menyakitkan ketika kamu pergi. Itu saja. Bodoh? Iya. Sangat bodoh. Kadang aku pun hanya tertawa bila mengingatnya. Perjalanan kita amat sangat lucu ternyata.

Aku ingat, kita memulai dengan cara yang salah. Entah aku, atau kamu. Tapi aku tak ingin menyalahkan siapapun, karena untuk masalah perasaan semua orang akan merasa benar. Meskipun penuh kebohongan dan ketidakpedulian. Cukup aku saja yang tau maksud semuanya.

Perjalanan memang kadang membuat aku terbang lalu jatuh. Dan terimakasih, kamu telah menjadi perjalananku. Hidup kadang terasa manis seperti gulali yang aku beli di taman kota/alun2, tapi ada masanya terasa pahit sama seperti aku yg tidak sengaja menyesap ampas kopi. Dan kamu telah menjadi keduanya di saat yang bersamaan. Sekali lagi, terimakasih. Untuk pernah hadir lalu pergi. Dan untuk sempat memulai lalu mengakhiri.

Untuk kamu, yang sempat hadir.

Aku tadi bilang bahwa aku merindukanmu, tapi setelah aku menulis ini semua aku tak lagi merasakannya. Aku sedang tersenyum, percayalah. Aku bahagia. Tak perlu aku yang merindukanmu lagi. Tugasku sudah cukup. Tugasku kini pergi lalu menghilang. Untuk tak saling mengenal akan lebih baik, mungkin? Hahaha aku hanya bercanda. Aku tidak kekanak kanakan lagi. Aku hanya berharap aku dan kamu baik baik saja. Kita bahagia bersama, di jalan yang berbeda.
Dan harapan terakhirku adalah suatu saat aku dapat bertemu kamu, dengan senyuman. Tak ada lagi kecanggungan. Lalu berbincang. Dan aku akan mengenalkan seseorang padamu. Dan sebaliknya.
Iya, seseorang yang aku kenalkan adalah orang yang membuat aku tersenyum setelah kamu membuat aku menangis. Semoga saja nanti aku menemukannya. Dan kamu, mengenalkan seseorang yang kamu ajak tersenyum ketika aku sedang menangis.

Untuk kamu. Yang sempat hadir.
Aku merasa cukup. Dan aku mencoba pergi.

~wibiono~
31 Januari 2016
22:08 wib

Selasa, 19 Januari 2016

Jejak Masa Lalu di Mana-Mana

Sudahlah, yang berlalu biarlah berlalu. Tapi tetap saja sepertinya sulit bagiku untuk melupakan begitu saja. Masih saja menyisakan ruang luka di hatiku. Masih teringat bagaimana sulitnya aku berusaha segala macam. Mulai dari berusaha memahami, berusaha mengerti, berusaha sabar, berusaha menuruti, berusaha untuk memperbaiki masa depan, berusaha mengumpulkan rejeki untuk nikah dsb.. Boleh dibilang di sini saya mencoba mengungkit-ungkit.

Terlalu sulit melupakan. Terlalu banyak jejak yang ditinggalkan disini. Tiap sisi dan sudut kota ada jejak masa lalu. Tiap yang saya pakai, mulai dari baju, sepatu, celana, jaket, handphone, ada jejak masa lalu yang menempel di sana. Belum lagi, tiap ku susuri jalan-jalan di kota ini, ada jejak dan bayang masa lalu yang tertinggal di sana. Bahkan saat aku merebahkan tubuhku di kosan, di sana juga ada jejak masa lalu. Motor yang tiap hari ku tumpaki pun ada bekas-bekas masa lalu. Terus, harus lari kemana diriku agar terlepas dari bayang masa lalu??

Satu-persatu bekas-bekas masa lalu sudah aku singkirkan. Mulai dari foto, bahkan sampai pakaian, hp pun mulai tak ku pakai lagi. Sebab hanya sakit tiap ku mengingatnya. Sakit!! Tapi aku sadar, mungkin ga mungkin bisa semuanya aku buang. Kalaupun harus aku buang, tetap saja aku tak bisa berlari menghindar dari bayang masa lalu. Selama aku masih di kota ini, selama aku masih menaiki motor yang sama, selama masih memakai baju yg sama, selama itu pula aku tak bisa benar-benar pergi jauh dari masa lalu. Masih berkutat tak jauh dari pusaran masa lalu.

Kurang ajar!! Masa lalu ternyata bukan ada jauh di belakang, tapi terus mengikutiku.