Hukum masyarakat memang sangat kejam. Hukum tidak tertulis ini tidak
hanya berefek secara fisik namun juga secara psikologis dan moral.
Bayangkan saja, jika seseorang sudah di cap jelek oleh masyarakat, maka
akan selamanya demikian. Masyarakat menilai tanpa peduli apa yang
sebenarnya terjadi. Yang terlihat itulah yang dinilai.
Hai
kawan, tau ga cap "pengangguran" itu sungguh menyakitkan. Itulah yang
kualami. Jadi teringat kata temanku "menjadi tua itu pasti, tapi menjadi
sarjana itu SUSAH!!" Susah dan serba salah tepatnya. Sudah 6 bulan
sejak kelulusanku, aku menganggur belum mendapat kerjaan. Entah memang
nasib yang belum berpihak atau aku yang terlalu bodoh.
Pandangan
masyarakat, sarjana adalah sebuah status sosial yang cukup wah. Mereka
beranggapan bahwa sarjana akan mudah mendapatkan kerja yang enak di
kantor, akan mudah mendapatkan uang banyak dan bisa hidup makmur. Waw!!
ternyata ga seperti itu kenyataannya.
Ketika ku wisuda,
semua orang yang mengenalku tersenyum bangga dan mengacungkan jempol.
Ku sadar itu cuma sesaat. Semua itu berubah setelah beberapa bulan statusku ga jelas. Sudah
puluhan lamaran ku kirim baik lewat pos, email, maupun diantar langsung.
Belasan panggilan dan balasan juga sudah diterima. Namun semuanya belum
membuahkan hasil. Lama-lama cukup frustasi juga hidup luntang-lantung
ga jelas.
Dalam kondisi seperti ini, emosi semakin
sensitif terutama kepada hal-hal yang berkaitan dengan masa depan,
pekerjaan, penghasilan, status, usia. Di awal kelulusan orang tua dan
orang terdekat menyuruhku untuk cepat mencari kerja. Kemudian setelah
sekian lama mulai menasehatiku agar jangan terlalu milih-milih dalam
mencari kerja. "Kerja apa aja dulu yang penting halal. Barangkali rejeki
kamu dimulai dari situ. Lakoni dulu". Tetapi ternyata pandangan
masyarakat ga sesimpel itu. Ketika ada orang yang bekerja sebagai kuli,
pedagang asongan, tukang ojek, atau sales itu dipandang sinis. Apalagi
dengan status pendidikan seorang sarjana, tentu pekerjaan itu dianggap
"nista" dan rendah.
Paling menyakitkan ketika dikatai
orang "makanya kerja ya jangan nganggur aja!", "makanya cari kerja
yaa..", "kerja ya, biar punya duit!", "sarjana kok nganggur aja?", "wani
piroo?", "punya modal atau jaminan apa? berani-beraninya....",
"nganggur ajaaa..gayanya..", "modal yaa...maunya gratisan aja.."...bla bla bla blaaa.......
Semua
kata itu seperti menusuk tepat di jantungku. Jlebbb..!! sesek napas,
emosi, marah, pengen nangis, dendam, benci,,semuanya berkumpul jadi
satu.. fiuuhh.... ingin ku hajar muka orang yang ngomong gitu.
Kamu
kira nyari kerja gampang?? kamu kira dapet duit tuh gampang? kamu kira
sarjana tuh gampang dapet kerja enak??? kamu kira aku ga usaha nyari
kerja? kamu kira aku ga malu nganggur terus?? kamu kira aku ga ngerasa
beban kalo ga punya duit?? kamu kira aku mau ngutang terus??? kamu kira
aku mau gini teruusss haahhh???? Enggak..!!! Mana ada orang yang mau
susah. Tapi hidup seperti ini ternyata bukan pilihan. Paling juga orang
cuma bisa nasehati "sabaarr...mungkin belum rejekinya...mungkin besok
ada rejeki yang lebih baik buat kamu". Adeeemmm banget kata-katanya,
tapi selang beberapa waktu, beberapa hari kemudian, kata-kata sindiran tadi
dilontarkan lagi. Sakit! Semoga kalian ga merasakan seperti ini.
Aku bisa kerja apa aja yang
penting halal dan dapat penghasilan walaupun sedikit. Tapi apa kamu-kamu
semua bisa terima?? Apa masyarakat ga memandang sebelah mata?
"sarjana kok jadi sales gitu",
"kerja kok jadi kuli, tukang becak?"
"sarjana kok kerjanya jadi pedagang kaki lima?",
"sarjana kok cuma bisa jadi buruh kasar??"
"ngapain cape-cape kuliah kalo cuma kerja gitu?".
"Mau
makan apa besok kalo kamu cuma kerja jadi sales?? mau di kasih
makan apa anak-anakmu nanti kalo kamu cuma kerja jadi kuli atau pedagang
kaki lima?"
Laknat!! Kenapa semua diukur dari materi, duit, jabatan???
Sekuntum Doa dan Bunga Untuk Para Pahlawan Nasib
Hukum masyarakat yang kejam itu ga pandang bulu, kawan. Beruntung aku masih punya sedikit iman yang tersisa yang membuatku bertahan dan ga berbuat di luar batas. Tidak sedikit orang di luar sana yang frustasi akhirnya memutuskan untuk berprofesi jadi maling ayam, copet, bahkan ga sedikit juga yang lebih memilih mengakhiri hidupnya karena tekanan batin. Ga sedikit juga dari mereka yang tertangkap dan akhirnya dihakimi warga sampai babak belur bahkan tewas. Tragis kan kawan??
Tau ga kawan kalau para "sampah masyarakat" itu sebenarnya ga mau bernasib seperti itu. Kalau ga percaya coba saja tanya ke mereka. Pasti mereka bilang ga mau kerja jadi copet, kerja jadi maling ayam, kerja jadi rampok atau mengemis. Semua salah tetangga-tetangganya! semua salah keluarganya! semua salah orang-orang terdekatnya! semua salah masyarakat yang menghukumnya!! ingat itu kawan kalau mereka ga sepenuhnya salah, bahkan menurutku mereka ga salah. Karena susahnya dapet kerja, susahnya dapet uang banyak dengan ditambah tekanan keluarga dan masyarakat serta karena perutnya yang perih karena lapar akhirnya mereka maling, akhirnya mereka nyopet, ngrampok, ngemis, ngamen. Tapi siapa yang mau peduli? siapa yang mau menghargai? Mungkin mereka ga menemukan cara dan jalan lagi. Mungkin pikirannya sudah buntu, mungkin masyarakat sudah tidak peduli lagi kawan.
Apakah salah kawan ketika kita ingin bertahan hidup?? Karena ga tahan lapar dan cibiran orang akibat jadi pengangguran, lantas mereka berbuat nekat, lalu tertangkap dan dihakimi warga dan dicap "sampah masyarakat, penyakit masyarakat". Itulah kawan akibat penilaian dan hukum masyarakat yang kejam dan ga mau peduli permasalahannya, ga mau peduli siapa dan mengapa.
Nyatanya masyarakat lebih memandang hormat pada pejabat korup ketimbang pemulung. Lebih hormat dan takjub pada pejabat berdasi namun amoral ketimbang sales alat-alat rumah tangga yang baru mengetuk pintu saja sudah diusir. Masyarakat lebih mengagumi artis bejat ketimbang pengamen jalanan yang dekil dan kumal. Artis bejat akan mudah dimaafkan ketika mereka dengan tampang akting memelasnya meminta maaf kepada pemirsa dan para fans. Tapi label maling akan tetap melekat sampai akhir hayat meski orang itu baru sekali maling dan telah insaf. Tahukah kawan mereka yang berdasi itu kerja enak karena orang tua-orang tua mereka yang memberi kerjaan, karena keluarga mereka memang keluarga kaya dan kalangan pejabat yang dengan mudahnya masuk instansi atau perusahaan besar tanpa jelas kerjanya. Tahukah kawan para pejabat itu duduk karena menjual penderitaan rakyat, menjual kemiskinan?? Bulshit kerjaan yang penting halal. Omong kosong dengan kejujuran dan moral bersih ketimbang kaya tapi dari hasil korupsi.
Kawan, mari kita angkat topi buat pejuang hidup yang tak kenal lelah seperti para pemulung, pedagang asongan, pengamen, dkk. Mari kita kirim sekuntum bunga dan doa buat para pahlawan nasib yang gugur akibat diamuk massa karena maling ayam atau mencopet dompet demi hidupnya, demi perutnya, demi anak istrinya yang kelaparan di rumah, demi membayar tagihan kontrakan semi sebuah kata "berjuang hidup" ketimbang bunuh diri. Semoga kalian diampuni dan dimaklumi oleh Dzat yang Maha Pengampun.
Duh Gusti mugi-mugi abdi dipun paringi rizki ingkang halal, ingkang barokah, lan manfaat dunya akherat. Mugi abdi dipun paringi iman ingkang kuat, diparingi dalan supados enggal hadir saking pitulung Panjenengan. Kun ngadikane Allah, Fayakun ngadikane Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Imajinasi tidak sama dengan mimpi. Imajinasi menciptakan energi untuk terus berharap, dan mewujudkan mimpi itu.!!
by: Ksatria Khayalan
Minggu, 23 September 2012
Minggu, 09 September 2012
Serat Kidungan Purwojati
Ana kidung ing kadang Marmati,
Amung tuwuh ing kuwasanira,
Nganakaken saciptane Kakang Kawah puniku Kang rumeksa ing awak mami,
Anekakake sedya Ing kuwasanipun,
Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi laku kuwasanireki Angenakken pangarah,
Ponang Getih ing rahina wengi Ngrerewangi ulah kang kuwasa Andadekaken karsane,
Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sabawa mami,
Nuruti ing panedha Kuwasanireku Jangkep kadang ingsun,
papat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud ingwang
Langganan:
Postingan (Atom)