Imajinasi tidak sama dengan mimpi. Imajinasi menciptakan energi untuk terus berharap, dan mewujudkan mimpi itu.!!
by: Ksatria Khayalan
Minggu, 01 Agustus 2010
Tepar
Dialog Imam Abu Hanifah dengan orang Atheis (2)
Baghdad, sebuah kota pusat pemikiran Islam pada masa Kejayaan Islam sering menjadi tempat berkumpulnya para delegasi dari berbagai negeri. Tujuan kedatangan mereka ke kota Baghdad adalah untuk berdebat dengan ulama-ulama Islam mengenai Dzat Allah. Salah seorang ulama yang sering menjadi sasaran mereka adalah Syaikh Hammad, gurunya Imam Abu Hanifah. Dikisahkan bahwa ketika para delegasi itu sedang menunggu kedatangan Syaikh Hammad, tiba-tiba muncul Imam Abu Hanifah. Dia langsung memberi salam kepada para hadirin dan berkata,
“Syaikh Hammad tidak dapat hadir pada perkumpulan yang membahas permasalahan-permasalahan seperti ini. Beliau mewakilkan kepada muridnya yang terkecil yaitu Abu Hanifah Nu’man bin Tsabt untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian”.
Setelah itu, Abu hanifah duduk di tempatnya yang berada di tengah-tengah para hadirin. Tidak lama setelah ia duduk, para delegasi itu langsung melontarkan pertanyaan-pertanyaan.
“Tahun berapakah Tuhanmu dilahirkan?”, Tanya para delegasi.
Abu Hanifah menjawab, “Allah tidak dilahirkan, sebab jika dilahirkan berarti Dia memiliki kedua orang tua. Dia juga tidakberanak, sebab jika beranak berarti Dia memiliki anak” dan hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an, “Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakan.” (Al-Ikhlas: 3, jawab Abu Hanifah.
“Tahun berapakah Tuhanmu ditemukan?”
“Allah ada sebelum adanya penanggalan, zaman dan waktu”
“kami minta kepadamu untuk menjawab dengan contoh-contoh dari realita kehidupan ini.”
“Bilangan berapakah sebelum empat?”
“Tiga”
“sebelum tiga?”
“dua”
“Sebelum dua?”
“satu”
“sebelum satu?”
“tidak ada lagi sebelumnya.”
“jika dalam ilmu hitung saja tidak ada angka atau bilangan sebelum angka satu, bagaimana dengan Satu Yang Hakiki yaitu Allah. Sesunguhnya Dia Maha terdahulu dan tidak ada permulaan bagi-Nya.”
“ke arah manakah Tuhanmu menghadap?” Tanya para delegasi lagi.
“Jika kalian meletakkan sebuah lampu di tempat yag gelap, maka menghadap ke arah manakah cahaya lampu itu?”
“menghadap ke semua arah”
“jika cahaya yang dibuat oleh manusia saja seperti itu, bagaimana dengan cahaya langit dan bumi?”
Beritahukan kepada kami tentang dzat Tuhanmu, apakah berupa zat cair seperti ari, zat padat seperti besi, atau zat gas seperti asap?”
“apakah kalian pernah duduk di samping orang sakit yang sedang menghadapi sakaratul maut?”
“Ya, kami pernah”
“apakah setelah mati dia berbicara kepadamu?”
“tidak”
“sebelum mati dia dapat berbicara. Tetapi setelah mati, tidak dapat berbicara. Demikian pula sebelum mati ia dapat bergerak. Tetapi setelah mati tidak dapat berbuat apa-apa. Lalu apa yang telah merubah kondisinya itu?”
“keluarnya ruh dari badannya itu”
“apakah ruhnya telah keluar?”
“Ya”
“berilah gambaran kepadaku tentang ruh tersebut. Apakah ia berupa zat padat, cair atau gas?”
“kami tidak mengetahuinya sama sekali”
“jika kalian tidak dapat memberikan gambaran tentang hakikat ruh padahal ruh itu termasuk mahluk Allah, lalu mengapa kalian meminta kepadaku untuk menggambarkan tentang Dzat Allah?”
“di tempat manakah Tuhanmu beraada?”, mereka bertanya lagi.
“jika kalian menyuguhkan segelas susu segar, apakah dalam susu tersebut terlihat ada minyak samin?”
“Ya”
“di bagian manakah minyak itu?”
“minyak itu tidak menempati tempat tertentu, tetapi ia tersebar di seluruh bagian susu tersebut”
“jika sesuatu yang diciptakan oleh manusia saja, yaitu minyak samin bisa tidak menempati suatu tempat tertentu, lalu mengapa kalian meminta kepadaku untuk mengatakan bahwa Allah berada di suatu tempa tertentu. Ini benar-benar merupakan suatu yang sangat aneh.”
Mereka masih bertanya lagi, “jika segala sesuatu telah ditakdirkan sebelum alam ini diciptakan, lalu apa yang diperbuat oleh Tuhanmu sekarang?”
“memperlihatkan segala sesuatu dan mengangkat derajat sebagian kaum serta merendahkan sebagian lainnya.”
“Jika masuk surga memiliki permulaan waktu, mengapa tidak ada akhir dan tiada ujungnya. Bahkan para penduduk surge akan kekal di dalamnya?”
“bukkankah bilangan ilmu hitung yang kita kenal sekarang ini memiliki permulaan tetapi tidak memiliki akhir?”
“di surga nanti, kita akan selalu makan, tetapi mengapa kita tidak pernah membuang air kecil maupun air besar?”
“saya dan kalian adalah mahluk Allah. Ketika dalam perut ibu kita selama 9 bulan, bukankah kita selalu makan melalui darah ibu kita tetapi tidak pernah membuang air sedikitpun baik air kecil atau air besar?” beliau balik bertanya.
“bagaimana mungkin kenikmatan-kenikmatan surgawi akan selalu bertambah dan tidak akan pernah habis meskipun telah digunakan?”
“bukankah jika kalian mengamalkan ilmu yang telah dimiliki, ilmu itu akan terus bertambah dan tidak pernah berkurang sedikitpun?”
Dialog Imam Abu Hanifah dengan orang atheis
Diriwayatkan bahwa Imam Abu hanifah adalah bagaikan sebilah pedang yang sangat tajam di mata kelompk Ad-Dahriyyah. Karena dia selalu menang dalam berdebat dengan mereka. Kelompk Ad-Dahriyyah adalah sekelompok orang yang menuhankan masa (waktu) dan berangapan bahwa kehidupan manusia hanya di dunia ini, tidak ada kehidupan lagi setelahnya karena sel-sel tubuh manusia akan rusak setelah terkubur di dalam tanah.
Pada suatu hari, ketika Imam Abu Hanifah sedang berada di dalam masjid, kelomok ini berniat menyerang dan membunuhnya, sehingga mereka tidak akan tergangu denganperkataan-perkataannya. Tetapi ketika mereka hendak membunuhnya, Imam Abu hanifah berkata dengan penuh keimanan dan keteguhan hati, “jawablah pertanyaanku tentang satu permasalahan, setelah itu perbuatlah sesuka hati kalian”.
Mereka berkata, “bertanyalah”
“apa pendapat kalian jika sebuah perahu yang penuh dengan muatan dan beban berlayar di tengah samudra yang luas. Meskipun diterjang ombak dan badai yang sangat besar, perahu itu tetap berjalan dengan tenang dan tak goyah sedikitpun, padahal tidak ada seorang nahkoda yang mengendalikannya?”
“ini sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal”
“Maha Suci Allah, jika tidak mungkin ada sebuah perahu yang berjalan di tengah lautan tanpa nahkoda yang mengendalikannya, maka bagaimana mungkin alam semesta yang luas dan terdiri dari berbagai macam bentuk dengan gerakan yang berbeda ini ada tanpa ada yang menciptakan dan memeliharanya”, ungkap Abu hanifah.
Mendengar penjelasan itu, mereka terkejut dan berujar, “engkau benar, wahai Imam”.
Kemudian mereka masuk Islam dan kembali ke rumah masing-masing dengan hati yang telah bertaubat.
Dialog Imam Jafkar dengan Orang Atheis
Dikisahkan bahwa seorang atheis pernah mendatangi Imam Jafkar Ash-Shadiq untuk berdialog dengannya tentang adanya Allah. Imam Jafkar bertanya kepadanya, “apakah engkau pernah naik perahu di tengah lautan?”
Orang itu menjawab, “Ya”.
Beliau bertanya lagi, “apakah engkau pernah merasakan pengalaman yang pahit dan menakutkan?”
“pada suatu hari, perahu yang saya tumpangi diterjang badai yang sangat besar, sehingga perahu tersebut pecah dan banyak diantara penumpangnya yang tenggelam. Kebetulan, syaa berpegangan pada salah satu papan dari perahu tersebut. Kemudian papan itu hanyut terbawa oleh ombak hingga saya selamat sampai ke daratan”
Mendengar penuturannya itu, beliau menimpali, “pada mulanya, engkau hanya menggantungkan hidupmu pada perahu yang engkau tumpangi. Lalu setelah perahu itu terpecah, engkau menggantungkannya pada papan yg telah menghantarkanmu ke tepi lautan. Tetapi bagaimanakah jika semua alat itu tidak ada, apakah engkau tetap mengharapkan keselamatan?”
“Ya, aku mengharapkan keselamatan”
“sungguh, hanya Allah-lah yang engkau harapkan ketika saat-saat seperti itu. Sungguh pada saat itu hatimu telah mengakui keberadaan-Nya, meskipun ketika engkau telah selamat, mulutmu tidak mau mengakui-Nya. Dan Dia-lah yg telah menyelamatkanmu sehingga engkau tidak tenggelam”
Kisah Tauhid
Suatu hari seorang guru yang menganut aliran atheism berkata kepada murid-muridnya, “tidak dapat disangkal lagi bahwa segala sesuatu yang terlihat oleh mata kalian adalah termasuk sesuatu yang maujud (ada)”.
Murid-murid berkata “Ya”
Guru itu berkata lagi “sekarang ini, kalian dapat melihat papan tulis, pena, buku, dan kursi. Hal ini disebabkan karena benda-benda tersebut ada di hadapan kalian. Dan kalian dapat melihat serta menyentuhnya. Bukankah begitu, wahai murid-muridku??”
“Ya”
“apakah kalian dapat melihat Allah?”
“tidak”
“jadi Allah itu tidak ada”.
Mendengar perkataan itu, para murid menjadi bingung dan tercengang karena mereka tidak pernah mendengar perkataan seperti itu sebelumnya. Mereka adalah orang yang meyakini adanya Allah meskipun mereka tidak pernah melihat-Nya. Akan tetapi tidak lama setelah itu, tiba-tiba salah seorang dari mereka meminta izin kepada sang guru untuk bertanya kepada teman-temannya,
“apakah kalian mendengar perkataan guru kita ini?”
Murid-murid yang lain menjawab, “ya”
“apakah sekarang kalian melihat guru kita ini?”
Mereka menjawab “Ya, dia ada di hadapan kita”.
“apakah guru kita ini memiliki akal?”
“Ya”
“apakah kalian dapat melihat akalnya?”
“tidak”
“berdasarkan perkataan sang guru tadi bahwa segala sesuatu yg ada pasti dapat dilihat dan sesuatu yg tidak dapat dilihat berarti tidak ada, maka saya berkesimpulan bahw guru kita ini tidak memiliki akal karena kita tidak dapat melihatnya,” ungkap sang murid panjang lebar.
Mendengar perkataan itu, murid-murid yang lain secara spontan menertawakan sang guru. Sedangkan sang guru sendiri merasa heran dengan kepandaian sang murid tersebut. Dia menyadari bahwa kepandaian murid tersebut telah ditakdirkan oleh Allah untuk meluruskan kebatilan dan kesesatannya.