Semuanya hancur saat kau ingin
mengakhiri semuanya, walaupun hanya untuk sementara. Kamu pikir dengan begini
masalahnya akan selesai? Kamu pikir dengan berakhir kamu dan aku ga akan
semakin tersiksa?? Kamu pikir dengan begini aku ga semakin tertekan? Salah
besar! Aku semakin tertekan, semakin ruwet, semakin pusing.
Aku pernah bercerita tentang
kisah anak kelas 6 yang menyukai pelajaran matematika namun kemampuannya jauh
di bawah teman-teman seusianya. Karena rasa sukanya pada matematika, ia terus
berusaha untuk belajar matematika walaupun sering dimarahi guru dan diolok-olok
temannya karena ia tidak mampu menghitung perhitungan sederhana. Setiap
usahanya sesuai kemampuannya, walaupun sedikit tidak membuahkan hasil bahkan
selalu dianggap “bodoh”. Yang
dikhawatirkan pada akhirnya anak itu akan mulai membenci usahanya untuk belajar
matematika. Yang dikhawatirkan anak itu akan menganggap bahwa ia memang ga bisa
matematika. Yang dikhawatirkan anak itu menganggap bahwa semua guru adalah sama.
Dan yang lebih parah lagi ia akan mulai membenci pelajaran matematika sampai
pada akhirnya ia membenci belajar pelajaran apapun sampai ia akan berhenti
untuk sekolah. Lantas, apakah dengan tidak belajar matematika itu akan membuat
lebih baik? Apakah dengan berhenti belajar itu akan semakin meringankan beban
anak itu?? Dampaknya akan jauh lebih buruk dari itu. Masa depan anak itu diambang suram dan kegelapan sepanjang hidupnya!!
Oke, jika ada tawaran alternatif
kalau untuk beberapa lama anak itu tak perlu belajar lagi sampai akhirnya nanti
dirasa perlu belajar lagi, apakah itu juga jalan yg terbaik? Mungkin setelah
beberapa lama tidak belajar dan tidak membuka pelajaran lagi, anak itu sudah
lupa sama sekali dengan pelajaran, apalagi pelajaran matematika. Apakah anak
itu akan mungkin dapat mengikuti pelajaran? Yang pasti, anak itu akan semakin
tertinggal kemampuannya dibandingkan teman-temannya. Ditambah lagi
pengalamannya selama ia belajar matematika dahulu itu akan semakin menutup
pikirannya.
Itu hanya ilustrasi sederhana
untuk menggambarkan kasus ini. Silahkan dicamkan baik-baik.
Entah bagaimana penilaianmu,
sejauh ini aku terus berusaha untuk mengerti kamu. Aku coba untuk menuruti
saran kamu dalam ngertiin kamu. Misalnya ketika aku melakukan kesalahan A,
kemudian kamu ngambek-ngambek dan bilang harusnya aku melakukan B biar ga
ngelakuin kesalahan A. Dikemudian hari aku menemui kasus yang sama, lalu aku
coba melakukan B, tetapi yang aku terima kamu bilang harusnya aku melakukan C,
bukan cuma ngelakui B. Di lain waktu aku coba lakuin B dan C, tapi kamu malah
bilang harusnya ga begitu, atau aku menganggap bahwa langkah B dan C itu bukan
solusi saat itu. Itu terbukti dari ketidakberhasilan ketika melakukan solusi B
dan C, mungkin perlu solusi D. Di kasus yang lain, kamu malah bilang “aku hanya
perlu B, ga minta banyak-banyak. Cukup melakukan B buat aku itu udah cukup”.
Saat jauh, rindu pasti mendera
sampe bingung menghadapinya. Aku mencoba mengalihkan semua itu dengan melakukan
pekerjaan-pekerjaan atau apapun. Ternyata itu lumayan membantu. Soalnya setiap
kali aku bilang kangen, rindu, setiap itu juga persaan kangen semakin menjadi.
Bukan maksud ga mau telpon atau ga mau mendengar suaramu, tapi aku takut itu
membuat perasaan semakin ga karuan dan ga konsen. Alasan lainnya karena di
rumahku ga ada tempat privasi buat kita mesra-mesraan saat telpon. Itu alasan
kenapa tiap telpon-telponan sama kamu, aku harus ke luar dan menyendiri di
lapangan yang gelap dan dingin kalau malam.
Pernah suatu ketika aku kangen
dan aku nekat utk menghubungimu malam-malam. Tapi rupanya kamu udah tertidur
karena lelah aktivitas seharian. Tapi aku bersikeras untuk telpon kamu sampai
kurang lebih 15 atau 20 panggilan masuk ke hp mu. Setelah itu aku berfikir,
ternyata aku egois kalau harus memaksa seperti ini. Karena jika itu ada di
posisi aku dan keadaan yang sama, mungkin aku pun akan merasa sangat lelah dan
ngantuk. Saat itu mungkin aku ga akan sanggup untuk meladeni telpon. Akhirnya
aku mulai menahan diri untuk tidak mengganggu mu jika sekiranya kamu sedang
lelah. Setiap aku ada waktu untuk menghubungimu, pagi hari misalnya, lebih
sering kamu sudah mulai beraktivitas seperti beres-beres, nyuci, mandi, dsb.
Akhirnya aku pun mengalah dan menahan diri. Itu sudah resiko jika kita jauh.
Kadang sulit menemukan waktu yang tepat.
Akhir-akhir ini badanku mudah lelah dan gampang ngantuk. Kebetulan pekerjaanku akhir-akhir ini juga cukup memakan tenaga. Mungkin itu juga sebabnya kenapa aku ga sanggup terjaga hingga larut malam untuk menunggumu yang biasanya ada brifing hingga larut malam. ...
(bersambung..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar