Halaman

Kamis, 21 Februari 2013

Hancur


Semuanya hancur saat kau ingin mengakhiri semuanya, walaupun hanya untuk sementara. Kamu pikir dengan begini masalahnya akan selesai? Kamu pikir dengan berakhir kamu dan aku ga akan semakin tersiksa?? Kamu pikir dengan begini aku ga semakin tertekan? Salah besar! Aku semakin tertekan, semakin ruwet, semakin pusing.

Aku pernah bercerita tentang kisah anak kelas 6 yang menyukai pelajaran matematika namun kemampuannya jauh di bawah teman-teman seusianya. Karena rasa sukanya pada matematika, ia terus berusaha untuk belajar matematika walaupun sering dimarahi guru dan diolok-olok temannya karena ia tidak mampu menghitung perhitungan sederhana. Setiap usahanya sesuai kemampuannya, walaupun sedikit tidak membuahkan hasil bahkan selalu dianggap “bodoh”.  Yang dikhawatirkan pada akhirnya anak itu akan mulai membenci usahanya untuk belajar matematika. Yang dikhawatirkan anak itu akan menganggap bahwa ia memang ga bisa matematika. Yang dikhawatirkan anak itu menganggap bahwa semua guru adalah sama. Dan yang lebih parah lagi ia akan mulai membenci pelajaran matematika sampai pada akhirnya ia membenci belajar pelajaran apapun sampai ia akan berhenti untuk sekolah. Lantas, apakah dengan tidak belajar matematika itu akan membuat lebih baik? Apakah dengan berhenti belajar itu akan semakin meringankan beban anak itu?? Dampaknya akan jauh lebih buruk dari itu. Masa depan anak itu diambang suram dan kegelapan sepanjang hidupnya!!

Oke, jika ada tawaran alternatif kalau untuk beberapa lama anak itu tak perlu belajar lagi sampai akhirnya nanti dirasa perlu belajar lagi, apakah itu juga jalan yg terbaik? Mungkin setelah beberapa lama tidak belajar dan tidak membuka pelajaran lagi, anak itu sudah lupa sama sekali dengan pelajaran, apalagi pelajaran matematika. Apakah anak itu akan mungkin dapat mengikuti pelajaran? Yang pasti, anak itu akan semakin tertinggal kemampuannya dibandingkan teman-temannya. Ditambah lagi pengalamannya selama ia belajar matematika dahulu itu akan semakin menutup pikirannya.
Itu hanya ilustrasi sederhana untuk menggambarkan kasus ini. Silahkan dicamkan baik-baik.

Entah bagaimana penilaianmu, sejauh ini aku terus berusaha untuk mengerti kamu. Aku coba untuk menuruti saran kamu dalam ngertiin kamu. Misalnya ketika aku melakukan kesalahan A, kemudian kamu ngambek-ngambek dan bilang harusnya aku melakukan B biar ga ngelakuin kesalahan A. Dikemudian hari aku menemui kasus yang sama, lalu aku coba melakukan B, tetapi yang aku terima kamu bilang harusnya aku melakukan C, bukan cuma ngelakui B. Di lain waktu aku coba lakuin B dan C, tapi kamu malah bilang harusnya ga begitu, atau aku menganggap bahwa langkah B dan C itu bukan solusi saat itu. Itu terbukti dari ketidakberhasilan ketika melakukan solusi B dan C, mungkin perlu solusi D. Di kasus yang lain, kamu malah bilang “aku hanya perlu B, ga minta banyak-banyak. Cukup melakukan B buat aku itu udah cukup”.

Saat jauh, rindu pasti mendera sampe bingung menghadapinya. Aku mencoba mengalihkan semua itu dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan atau apapun. Ternyata itu lumayan membantu. Soalnya setiap kali aku bilang kangen, rindu, setiap itu juga persaan kangen semakin menjadi. Bukan maksud ga mau telpon atau ga mau mendengar suaramu, tapi aku takut itu membuat perasaan semakin ga karuan dan ga konsen. Alasan lainnya karena di rumahku ga ada tempat privasi buat kita mesra-mesraan saat telpon. Itu alasan kenapa tiap telpon-telponan sama kamu, aku harus ke luar dan menyendiri di lapangan yang gelap dan dingin kalau malam.

Pernah suatu ketika aku kangen dan aku nekat utk menghubungimu malam-malam. Tapi rupanya kamu udah tertidur karena lelah aktivitas seharian. Tapi aku bersikeras untuk telpon kamu sampai kurang lebih 15 atau 20 panggilan masuk ke hp mu. Setelah itu aku berfikir, ternyata aku egois kalau harus memaksa seperti ini. Karena jika itu ada di posisi aku dan keadaan yang sama, mungkin aku pun akan merasa sangat lelah dan ngantuk. Saat itu mungkin aku ga akan sanggup untuk meladeni telpon. Akhirnya aku mulai menahan diri untuk tidak mengganggu mu jika sekiranya kamu sedang lelah. Setiap aku ada waktu untuk menghubungimu, pagi hari misalnya, lebih sering kamu sudah mulai beraktivitas seperti beres-beres, nyuci, mandi, dsb. Akhirnya aku pun mengalah dan menahan diri. Itu sudah resiko jika kita jauh. Kadang sulit menemukan waktu yang tepat.

Akhir-akhir ini badanku mudah lelah dan gampang ngantuk. Kebetulan pekerjaanku akhir-akhir ini juga cukup memakan tenaga. Mungkin itu juga sebabnya kenapa aku ga sanggup terjaga hingga larut malam untuk menunggumu yang biasanya ada brifing hingga larut malam. ...

(bersambung..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar