Halaman

Kamis, 05 April 2012

Selamat Jalan Mamah (2)

Jum'at, 9 Maret 2012

Pagi itu mamah minta pulang aja. Aku bilang nanti nunggu papah, karena pagi-pagi papah pulang untuk berangkat ke kantor. Dokter memeriksa sekitar jam 8. Dokter menyarankan untuk dirujuk ke Bandung saja, karena di sini angkat tangan. 

Sekitar jam 10an papah datang dan meminta pendapatku tentang mamah. Papah juga meminta pendapat mamah mau dibawa ke bandung atau tidak. Tapi mamah geleng kepala. Mamah minta pulang saja. Aku pun begitu. Ngapain juga dibawa ke bandung. Mending di rumah, atau di sini aja. Biar bisa dapet infus supaya ga lemes. 
Saat papah datang, papah bilang

"mah, kenal ga ini siapa?" sambil menunjuk dadanya sendiri.
"papah, hehe.."
"kirain ga kenal"

Papah pun kembali ke kantor untuk meminjam mobil untuk bawa pulang mamah dan meminta pendapat teman-teman kerjanya. 

Kembali mamah meminta pulang dan menanyakan papah. Aku bilang nanti saja pulangnya nunggu papah, mungkin habis jum'atan. 

"eh belum bedug tah? kirain tuh udah bedug. mamah mau pulang aja lah. Cape di sini terus. mau istirahat. Mamah tuh pengen tidur yang nyenyak, jangan sampe ada yang ganggu tuh. duh, masih lama ya bedugnya?" kata mamah.

"belum mah. ini baru juga jam 9 pagi. Nanti aja pulangnya, nunggu papah dateng."
"kalau mau tidur, sini di pangkuan wibi. Nyandar di Wibi aja"

"Duh, masih lama ya bedugnya wib?, cape ah"

Sekitar jam setengah 10an mamah mau kencing. Ga seperti biasanya, kali ini mamah minta kencing di WC. Aku sarankan untuk kencing di kasur aja pake pispot, tapi mamah menolak. Akhirnya aku setengah bopong mamah ke WC dengan susah payah dan dibantu Nok dan tante Neneng. Begitu sulitnya mamah untuk kencing di WC dengan kondisi kesakitan seperti itu, membuat kamiu pun bingung setengah mati. Empat orang berada dalam 1 WC. Keningku bercucuran keringat dingin waktu menahan berat badan mamah yang lemah untuk jongkok. Yang bikin sulit adalah aku hanya bisa memegangi bagian tubuh mamah sebelah kanan saja, karena sebelah kirinya ada luka bekas jaitan. Kami kewalahan, dan mamahpun menjerit-jerit kesakitan. 

Setelah selesai tinggal kami mengangkat mamah dan membawanya kembali ke kasur. Perjalanan yang hanya beberapa meter saja serasa jauh dan membuat kami kepayahan.

Sejak saat itulah mamah merintih kesakitan. Mamah minta tiduran, tapi yang ada malah tambah kesakitan dan sesak napas. Aku pun mengangkat mamah untuk duduk dan membiarkannya bersandar di tubuhku. Mulailah mamah agak tenang. Tapi entah kenapa mamah kembali sekarat sekitar jam 11. Kebetulan saat itu banyak saudara-saudara mamah yang datang. Beberapa diantara mereka meneteskan air mata menyaksikan rintihan dan sekaratnya mamah. 

Hari itu aku tidak solat Jum'at. Aku lebih memilih berada di samping mamah. Karena yang ada di situ perempuan semua yang tidak mungkin dan tidak mengerti cara merawat mamah. Terlebih lagi kalau mamah kencing atau buang air besar. Aku putuskan untuk tidak solat Jum'at. Semoga Allah mengampuni. 

Setelah selesai solat Jum'at dan papah datang, kondisi mamah semakin menghawatirkan. Mamah seperti sakaratul maut. Sebelumnya mamah memanggil semua anak-anaknya. Papah pun akhirnay menelpon Budi untuk segera pulang ke Cirebon siang itu juga, karena Budi baru saja seminggu yang lalu berangkat kuliah setelah sebulan liburan. 
Ketika Purnomo, Widia datang, mamah tidak mengenali. Hampir semua yang ada di situ menangis, mungkin cuma aku yang ga nangis. Aku hanya senyum memandangi wajah teduh mamah yang sedang merintih. Entah kenapa aku merasa itulah hari terakhir aku bisa melihat wajah mamah. Aku bisikan di telinga mamah bacaan syahadat.

"mah, mamah masih dengar suara wibi kan? Kalo masih dengar, ikuti suara wibi ya?"
"mmmhh...iaaa", jawab mamah sambil merintih dan mata terpejam.
"asyhadualaa ila ha ilallah....wa'asyhaduana muhammadurosulullah...." ucapku pelan di telinganya.
"awhhh ahh ahhh...ihh aahhh aaahhh...iihh awhhh ahhhh..... mmmmhhh..." dengan suara yang samar-samar tak jelas, mamah mengikuti ucapanku. Aku cium keningnya sambil ku bacakan salawat.
"Mah, maafin salah wibi ya. Wibi belum bisa jadi anak yang baik, belum bisa nyenengin mamah. Wibi selalu bikin susah mamah dari kecil sampe gede gini. Ampunin wibi mah."

Setelah itu mamah sekarat tak karuan lagi, selang infus dan selang oksigen pun dilepasnya. darah dari infus pun berceceran membasahi selendangnya. Aku suruh Nok untuk memanggil perawat agar memasangkan kembali infusnya. Saat aku tenangkan mamah, mamah melihat tangannya yang berlumuran darah,

"ih ini darah ya? tuh berdarah ya...ga papa laah..mmhhh...aahh.."

Aku baringkan mamah seenak mungkin agar tidak terlalu sesak napas. Aku ganjal kepala mamah dengan tumpukan-tumpukan bantal agar posisi kepala agak mengangkat, karena mamah udah tidak bisa dibawa duduk. Mulai saat itulah mamah sakaratul maut. Aku tak henti-hentinya membisikan kalimat tauhid di telinga mamah. Aku bacakan syahadat, tahlil, istigfar, agar mamah terus mengingat Allah. Di samping mamah, nok pun membacakan yasin.

Selama sakaratul maut aku tak beranjak dari samping mamah dan terus membisikan kalimat Allah ditelinganya. 

"mah, ayo jangan berhenti nyebut Allah. baca syahadat mah. Jangan sia-siain akhir hidup mamah. Kalau susah, cukup baca Allah..allah..allah..."
"awaaahhh awaahh.... aaahhh, ada setan!!" racau mamah.
"ayo mah, makanya terus sebut allah. jangan dengerin setan". "audzubillahi kalimati minsyarimaa kholaq" ku usap muka mamah.

Saat kondisi mamah seperti itu aku sms ke Wa Elang untuk mengabarkan kondisi mamah. Wa Elang menyuruh papah untuk menelponnya. Akhirnya papah menelpon wa elang. Papah disuruh membacakan doa ke dalam segelas air, dan air itu diminumkan ke mamah. Katanya supaya jalannya dimudahkan.

Selama beberapa jam mamah sakaratul maut dan hanya ucapan Allah yang terdengar samar dari mulut mamah. Aku bisikan pelan di telinga mamah:

"mah, kalau mamah mau pergi, silahkan. Kita di sini udah ikhlas ko. Silahkan mamah pergi dengan tenang, apa lagi yang di beratkan mamah?"

Aku pegang dari kaki hingga kepala mamah. Hanya tinggal kepala saja yang masih hangat, selebihnya sudah dingin. Aku teringat ucapan mamah yang ingin pulang setelah bedug, tapi bedug apa?? Bedug duhur sudah lewat dari tadi. Sekarang sudah jam 2 dan hampir ashar. Aku pun teringat ucapan papah tadi. 

"mamah tinggal nunggu hari baiknya, mungkin nunggu hari lahirnya, hari sabtu"


Wah, kalau hari Sabtu masih lama donk pikirku. Masih harus melewati 1 malam lagi. Kasihan mamah kalo gitu. Tapi kata papah kalau sudah sore itu sudah ikutnya hari sabtu. Aku langsung berpikir apa mungkin yang dimaksud tuh bedug ashar??


Tak henti-hentinya aku membisikan mamah kalimat-kalimat allah supaya mamah jangan sampai berhenti berucap, meski dalam hati karena mulut sudah sulit untuk mengucapkan secara jelas. Hanya hembusan nafas saja yang bisa keluar diiringi suara menyebut "allah" secara samar.
Makin lama nafas mamah semakin melemah. Azan ashar pun berkumandang disertai mendung. Aku pun berbisik lagi di telinga mamah, karena sebagian kepala pun mulai dingin.

"mah ini sudah bedug mah, bedug ashar. Kalau mamah mau pulang, silahkan. Wibi ikhlas, semua yang ada di sini juga ikhlas. Apa yang mamah beratkan lagi? Pergi yang tenang ya mah. Maafin semua salah wibi dan semuanya, kita semua juga udah maafin salah mamah. Maaf kalo wibi banyak dosa ke mamah, wibi sayang sama mamah. Setelah ini, mamah ga akan ngerasain sakit lagi. Mamah bisa istirahat. Mamah ga bisa dateng wisudaan Wibi juga ga papa, yang penting mamah tenang di sana. Salam buat para malaikat yang jemput mamah, salam juga buat Gusti Allah."
"yaa ayatuhannafsul mutma'inah irji'i ila robbiki rodiatan mardiyah, fadkhuli fii ibadi fadkhuli jannah..."
"laa ilaa ha ilallah....muhammadurosulullah"


Setelah aku berucap itu, tepat ketika sayup-sayup suara azan berhenti, sekitar pukul 15.14 (jam di hp ku) mamah menarik nafas dalam dan sangat pelan, kemudian menghembuskan nafas terakhirnya disertai dengan turunnya hujan. Semoga ini pertanda baik, karena hujan adalah rahmat dari Allah. Alhamdulillah, mamah sudah pergi dengan tenang dan selamat.

Semua yang menyaksikan itu menangis, tak terkecuali papah yang meneteskan air mata. Tante neneng, nok, adi, widia, purnomo, tante nani, mba erna semuanya nangis. Uwa Sri yang datang terlambat pun sudah menangis duluan sejak di jalan menuju kamar mamah. Tapi entah mengapa aku tersenyum lega melihat mamah pergi. Sampai ada yang bilang kenapa aku tidak nangis, malah senyum-senyum? Aku senyum melihat mamah tak lagi menderita kesakitan, tak lagi menderita menahan kantuk yang amat sangat, tak lagi menderita lelah dan beban pikiran yang bertumpuk tentang dunia. Hari itu mamah akan bertemu dengan Sang Khaliq Pemilik kehidupan. Aku lega dan puas atas semua upaya papah untuk berjuang menyembuhkan mamah, walaupun akhirnya Allah berkehendak lain. Setidaknya semua ikhtiar sudah dicoba, semua syariatnya sudah dijalankan, yaitu terus berusaha dan berdoa.

Wajah mamah teduh dan terlihat cerah. Tidak seperti biasanya. Memang selama sakit wajah mamah aneh. Terkadang terlihat pucat, lesu, tetapi kadang juga terlihat cerah seperti tidak sakit. Air mataku tak keluar sama sekali. Aku kecup kening mamah sekali lagi.


Tidak seperti biasanya orang meninggal yang tubuhnya kaku, tubuh mamah sangat lemas. Tidak sulit untuk menyilangkan kedua tangan mamah di dada. 
Selamat jalan mamah, semoga engkau tenang di sana.

Setelah dokter dan perawat memeriksa, dokter memastikan mamah telah pergi. Aku disuruh papah untuk mengurus adminstrasi di Rumah Sakit dan membawa mamah pake mobil ambulan. Sementara saudara-saudara yang lain pulang duluan dengan papah pake mobil pinjeman. Aku dengan dibantu bapak-bapak dari keluarga pasien kamar sebelah menggotong mamah ke ranjang untuk kemudian di bawa ke tempat di mana ambulan menunggu.


Tinggallah aku duduk berdua dengan sopir ambulan. Aku memandang jauh ke depan, menembus derasnya hujan seolah memandang mamah yang sedang berjalan pergi menjauh menerobos lebatnya air hujan dan melambaikan tangan. Alam pun serasa menjadi melankolis dan dramatis dalam guyuran hujannya. Aku pun menghela nafas panjang.. fiiiuuuuhhh......


Mungkin inikah jawaban kegundahanku beberapa bulan yang lalu, ketika aku tiba-tiba teringat mamah dan seolah mamah akan pergi jauh?? padahal waktu itu mamah masih sehat-sehat saja. Aku pernah menulis note atau catatan kecil di fesbuk tentang mamah.
Mungkin inikah firasatku tempo hari, yang tiba-tiba aku ingin belajar memandikan jenazah dan kembali membuka buku tata cara solat jenazah??

Selamat jalan Mamah, meski engkau telah tiada dan jasadmu berkalang tanah, namun jiwamu ada di hati kami semua. Di hati papah dan anak-anakmu....



"di sebuah ruang sunyi beratapkan rindu"


Anakmu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar