Halaman

Kamis, 25 September 2014

Wisma Haramain (1)

Cerita Pertama : Wisma Haramain
Setiap jejak langkah masa lalu
Ada cerita yang diam-diam menyelinap
Pada hari-hari kemudian
Itulah kenangan
kepadamu ijinkan kubagikan…
Suara azan subuh mengalun pelan dari sebuah surau kecil itu...
“Bangun Bro, Bangun” Kamarku digedor.
Mataku masih disergap kantuk. “Iya Bang, siap”. Aku jawab sekenanya sambil menggeliatkan tubuhku yang masih malas. Sebagai warga baru, Aku masih sering kaget ketika pintu diketuk keras oleh senior yang membangunkan tidur nyeyakku. Tapi apa boleh buat, di wisma ini, sholat subuh berjamaah di masjid ibaratnya sudah menjadi sesuatu yang wajib dikerjakan. Tradisi turun temurun para penghuni wisma
Tanpa kecuali. Tak peduli kau begadang sampai malam, baru tidur pukul 03.00, tetap saja aturan berlaku, pintu digedor selepas azan subuh mengumandang. Coba-coba tak bangun dan tak shalat subuh jamaah di masjid, kena denda sekian rupiah alias semangkuk bakso. Begitulah aku mengawali kehidupan di wisma baru. Agak menyebalkan awalnya, terkesan semi militer. Tapi, lama-lama menjadi terbiasa menjalani kehidupan di wisma ini.
Ya, wisma Haramain. Nama kontrakan untuk anak-anak mahasiswa itu.
Memang boleh dibilang agak beruntung. Ya, aku indekos di sebuah wisma yang boleh dibilang cukup nyaman. Bukan karena fasilitasnya, tapi kehidupan para penghuninya. Suasananya beraroma kekeluargaan, saling membantu. Rata-rata, kami, para penghuninya rata-rata dari kalangan biasa.
Walau memang, di wisma ini agak ketat juga dalam soal pergaulan. Perempuan, siapapun dia, tak diperkenankan masuk ke wisma ini. Kecuali, kalau itu ibu dari salah satu penghuni wisma.
Wisma Haramain..
Sebenarnya, hanya rumah kecil dan sederhana saja.Ukuran sekira 5 X 10 meter. Tiga kamar tidur, satu ruang tamu dengan televisi yang sudah bobrok, juga satu komputer butut yang layarnya sering mendadak mati. Entah itu punya siapa. Ketika aku datang itu barang sudah ada. Di dapur ada satu kompor minyak tanah yang sudah menghitam, lalu disebelahnya ada kamar mandi yang airnya sering mati. Pemandangan
Yang paling kusuka adalah bagian belakang wisma.
Masih ada kebun yang ditanami ketela pohon, juga pohon rambutan yang masih sering berbuah.Pepohonan itu juga menjadi hak penghuni wisma. Kata eyang Wiguna, pemilik wisma itu “Monggo silakan aja mas kalau mau dimanfaatkan kebun belakang itu”. Artinya, ya kami bebas memetiknya. Buah rambutan yang kalau berbuat selalu manis dan “Aceh” banget, alias dagignya mudah dikelupas. Setiap tiga bulan sekali, kami juga memanen ketela pohon yang enak dimakan, setelah ditaburi garam dan digoreng.Rasanya gurih sekali.
Sungai di belakang wisma juga pemandangan yang membuat segar hati.
Airnya jernih, bening sekali.Masih banyak ikannya pula.Yang paling banyak ikan mujahir, lalu ikan emas, kalau lagi untung ikan lele juga kami dapatkan.Ya, kami, para penghuni wisma memang kerap juga memancing di sungai itu. Biasanya selepas Ashar sampai menjelang maghrib. Sebenarnya, mendapat ikan atau tidak tak menjadi soal sih, yang penting kami bisa menghilangkan kepenatan pada mata kuliah yang setiap hari menjadi rutinitas yang harus ditempuh di ruang kelas.
Di ujung sungai ada air terjun, dan juga mata air yang masih perawan.Segar sekali airnya. Kalau air dari pemerintah sedang ngadat, kami memanfaatkan mata air itu. Ya untuk mandi, mencuci baju, juga kadangkali, kalau benar-benar tak ada air sama sekali, kami membawanya satu ember untuk memasak nasi. Agah jauh memang lokasi mata air itu dari wisma, jadi lumayan menyita tenaga ketika membawa seember air atau segalon air.
Wisma Haramain
Aku tak tahu awal mula wisma dinamakan Haramain.Nama ini sudah ada sejak empat angkatan diatasku. Jadi begitu saja aku menerima nama ini menjadi identitas wisma, sebuah nama “Wisma Haramain”, yaitu sebuah plang besar berupa papan dengan cat ala kadarnya, dengan huruf-huruf yang mulai mengelupas, namun cerita tentang penghuni wisma Haramain tidak bisa dilupakan begitu saja. Konon, wisma Haramain ini berhasil mencetak sejarah tersendiri yang membuat para penghuni dan alumni wisma ini merasa bangga.Setidaknya kebanggaan untuk diri sendiri.
Aku sendiri memang bukan siapa-siapa, hanya penghuni wisma yang tidak menojol.Namun, boleh dibilang aku menaruh hormat kepada para penghuni yang pernah kukenal dan kami hidup bersama selama beberapa tahun.Dengan cerita suka yang kami alami bersama, juga cerita duka yang juga kita sama-sama tanggung bareng.
Wisma Haramain, bagi kami adalah kawah candradimuka dalam cerita pewayangan. Di wisma inilah kami mengenal apa itu idealisme, di wisma inilah untuk pertama kali aku mulai mengenal demonstrasi, di wisma inilah aku mengenal buku-buku para pemikir muslim seperti Mohammad Natsir, Mohamad Iqbal, Yusuf Qardhawi, juga penulis tafsir “Di Bawah Naungan Al-quran”, tak lain tak bukan Sayyid Qutb namanya, tokoh yang juga penulis buku “Petunjuk Jalan” buku yang selalu kukenang dan paling berpengaruh dalam hidup.
Wisma Haramain: Dari tempat inilah segala cerita bermula….
(bersambung....)

@Sudaryono Achmad


Tidak ada komentar:

Posting Komentar