Apa yang dirasakan seandainya orang yang
dicintai ternyata saat ini sudah ga ada perasaan lagi? Bahkan kini dia bebas
dekati laki-laki manapun. Dengan entengnya dia bilang saat ini perasaannya
biasa saja. Seolah lupa dengan komitmen dan janji-janji dulu ketika pacaran.
Rasanya remuk hati ini, badan terasa panas, dada terasa sesak.
Kemarin, hari Minggu 28 Juni 2015 aku main
ke rumah Rya di Temanggung dengan maksud hati silaturahmi sekaligus untuk
memperbaiki suasana. Sengaja aku ga bilang kalau mau main. Sebab, beberapa kali
aku ingin main ke rumahnya, selalu ada alas an kalau dia tidak di rumah hari
itu, atau akan ada acara. Jadi ini ceritanya aku nekat. Kalaupun nanti ternyata
Rya ga di rumah, ya ga masalah. Saat sampai di depan gang rumahnya sekitar jam
09.30, aku SMS dulu menanyakan ada agenda keluar ga hari itu. Ternyata ga
dibalas. Akhirnya ku coba telpon ke nomornya, berkali-kali ku coba, tetapi ga
ada jawaban. Akhirnya aku nekat dating. Memang rejekiku, ternyata dia ada di
rumah. Agak terkejut dia ketika tau aku datang dengan kondisi dia belum mandi.
Dia Tanya, kenapa aku tidak bilang dulu kalau mau datang. Dalam hatiku, kalau
aku bilang kemungkinan dia akan beralasan lagi agar aku mengurungkan niat untuk
mampir ke rumah. Padahal sekitar 15 menit sebelumnya pun aku sudah berusaha
ingin memberitahu, tapi ga ada tanggapan. Alasannya karena dia sedang sibuk
beres-beres. Padahal ketika aku sampai rumahnya, kondisi dia seperti baru
bangun tidur. Harusnya SMS dan beberapa kali teleponku dia tau. Mungkin sengaja
ga diangkat, ini kecurigaanku saja.
Akhirnya Rya meminta saya menunggu karena
akan mencuci dan kemudian mandi. Sekitar sejam lebih aku bengong di ruang tamu
menunggu, tanpa sebelumnya dia menghampiriku. Hanya lewat depan kamarnya dan menengok
ke ruang tamu sambil lalu ketika aku datang. Ini juga yang membuat aku ga enak
hati. Ga pernah sebelumnya dia begini.
Setelah menunggu akhirnya dia selesai
beres-beres dan mandi, Rya menghampiri dan menyalamiku di ruang tamu dengan
muka yang aku tangkap sangat berbeda. Bahkan muka dan matanya berusaha
menghindar tatapanku. Ini hal lain yang membuat hatiku kembali ga enak.
Jujur, saat itu aku kembali canggung
berhadapan dengan Rya. Grogi dan bingung harus membuka pembicaraan dari mana.
Jantung ini berdetak kencang, keringat dingin membasahi telapak kaki dan
tanganku. Saat ku buka pembicaraan, dia tengah asik memainkan HP-nya. Bahkan
pembicaraan selanjutnya pun lebih sering dia senyum-seyum ke HP-nya, beberapa
pertanyaanku pun sering tak dijawab. Ini hal lain lagi yang buat hatiku ga
enak. Aku tanyakan ada agenda keluar atau engga. Dia bilang mungkin agak
siangan dia akan keluar dengan teman-temannya walaupun ga tau pasti mau keluar
ke mana. Dugaanku benar, pasti dia bakal alesan akan keluar. Ini jadi sebuah
sinyal kalau aku ga perlu berlama-lama di rumahnya.
Akhirnya aku beranikan diri mendekat dengan
duduk di sebelahnya. Ku coba meraih tangannya, tapi dia berusaha menolak. Aku
ajak ngobrol dia sambil ku belai rambutnya, dia diam saja walaupun awalnya dia
agak menghindar. Saat itu aku bilang minta maaf dan bilang kalau masih sayang
dengannya. Tapi tanggapannya dia aneh, sok becanda dan menghindari pembicaraan.
Rya mulai bercerita tentang foto teman di
instagramnya. Aku menangkap sinyal lain. Bahwa dia ingin menunjukan ada
beberapa orang laki-laki yang sering main atau sekedar jalan-jalan dengannya.
Dari cara dia bicara, aku menangkap bahwa dia ingin mengatakan “ini lho
beberapa teman cowo yang dekat denganku, sering ngajak jalan-jalan, traktir
makan, perhatian …..karena ga ada apa-apa lagi dengan kamu, jadi boleh dan
bebas donk aku pergi dan dekat dengan siapapun..”
Aku hanya menanggapi dengan senyum seolah
tak mengerti apa-apa. Padahal dalam hatiku mulai meneteskan air mata. Kemudian
obrolan berlanjut ke hal lain, tapi kemudian ia bercerita tentang jalan-jalan
dan perhatian teman-teman kantornya, khususnya yang cowo. Bahkan dengan
gambling dia bilang beberapa cowo itu emang ada modus dan suka bahkan bilang
dengan jelas banyak cowo yang bilang sayang. Bilangnya sih, semua ga di bawa
perasaan, ga mau bermain hati. Tapi semua perhatian cowo itu keliatannya dia
tanggapi semua. Dari cara dia bercerita, seolah ingin melihat reaksi cemburuku.
Jujur aku sangat sangat cemburu dan makin sesak dada ini. Ini hal lain lagi
yang membuat hatiku making a karuan.
Ketika aku bilang bahwa sekarang dia
gemukan, dia jawab “iya donk, bahagia sekarang mah…” dengan ucapan yang penuh
maksud. Aku pun paham maksudnya. Lagi-lagi aku pura-pura tenang menanggapinya.
Tapi aku yakin dia masih paham dalam membaca pikiran dari tanggapan dan
ekspresiku. Walaupun mungkin untuk orang awam pasti mengira aku biasa aja. Tapi
aku sangat yakin Rya paham, karena memang cuma dia yang paham tentang hal yang
tersembunyi dari aku. Walaupun sekuat tenaga aku berpura-pura di depan dia,
pasti dia bisa membaca ada yang ga beres.
Saatnya adzan duhur pun tiba. Aku segera
bergegas ke masjid sekaligus agar air mata ini ketika menetes tak terlihat
olehnya. Dalam langkah menuju masjid, mataku sudah tak kuat dan berkaca-kaca.
Sampai di masjid aku solat sunah ingin menumpahkan keluh kesah ini. Selesai
sunah aku coba baca Ar-Rahman seingatku. Tapi baru beberapa ayat, dadaku makin
sesak dan mataku tak tertahankan lagi. Aku malu karena di masjid orang mulai
berdatangan. Untuk menutupi raut muka, aku tundukan kepala. Dadaku panas dan
suaraku tercekat di tenggorokan.
Usai solat duhur kembali aku ke rumahnya.
Sebisa mungkin pikiran aku alihkan ke hal-hal lain. Sampai di ruang tamu, tak
lama kemudian Rya datang. Ternyata dia sudah mulai dandan. Ini pertanda kalau
aku ga perlu lebih lama lagi. Dia sibuk dengan HP-nya, mungkin kontak dengan
teman-temannya yang janjian mau jalan-jalan. Aku tanyakan jadi keluar kapan.
Dia jawab nanti karena temannya baru mandi, katanya.
Kita mulai ngobrol-ngobrol lagi. Aku lihat
dia mulai biasa lagi saat bicara dan bercerita, sudah mulai lepas. Tapi saat
aku ngomong, dalam sekejap dia tertidur. Kebiasaan dia masih sama, cepat
tidurnya. Obrolan selanjutnya setelah dia terbangun mulai ga ditangggapi karena
dia makin asik SMS atau BBM-an mungkin. Aku tau kalau temannya akan segera
meluncur ke rumahnya. Salah seorang temannya telepon. Dan sepintas aku dengar
kalau temannya bertanya kalau tamunya udah pulang belum. Aku langsung
bersiap-siap pamit. Kemudian tiba-tiba dia dimiscall temannya lagi. Kali ini sepertinya seorang laki-laki. Tanpa
pikir panjang, dia langsung telpon balik dan menanyakan ada apa tadi telepon
atau miscall. Sepertinya orang di
seberang sana yang diajak berbicarapun menanyakan apakah aku sudah pulang, atau
kapan pulangnya. Rya menjawab, “iya mungkin ini sebentar lagi mau pulang..”
Dalam hatiku makin menjerit. Ini adalah sebuah sinyal pengusiran secara halus
berikutnya. Yaa memang dia tuan rumah, dan aku hanya tamu. Aku pun makin cemburu.
Sms ku sangat jarang dibalas, teleponku ga pernah diangkat, tapi kini dia
sangat tanggap terhadap temannya itu. Seolah dia juga sekaligus ingin
manas-manasin aku.
Jantungku serasa berhenti, ulu hatiku
mendadak sakit serasa ada yang nonjok. Aku udah ga tahan, mataku berkaca-kaca
di hadapan Rya sambil aku bilang maaf dan sayang. Tapi dia tetap bilang sudah
biasa aja, udah ga ada perasaan. Ga mau nanggepin sayang-sayangan. Aku sudah
jelaskan kalau aku cuma lagi focus untuk kita. Tapi dia ga peduli. Bahkan saat
aku bilang target melamar dia bulan Desember pun seolah dia menolak.
Rya bilang kalau sudah memaafkan dan sudah
tidak perlu ada yang dipersoalkan. Tapi kenyataannya sikap dia padaku
akhir-akhir ini sama sekali ga mengindikasikan kalau dia sudah memaafkanku.
SMS, BBm, WA ku tak pernah digubrisnya. Kalaupun dibalas hanya singkat dan
hanya sekedarnya. Bahkan pertanyaanku seringkali tak dijawab. Telponku pun tak
pernah diangkatnya. Sakit rasanya hati ini. Bilang dimaafkan tapi sikapnya
masih seperti itu. Itulah yang membuat aku masih berat hati karena belum
mendapat maafnya.
Saat mengucapkan maaf lagi dan ingin
menjelaskan dan menanyakan hal lain, suara ini sudah sulit keluar. Cuma bisa
nyangkut di tenggorokan. Air mata udah ga tahan untuk keluar. Akhirnya aku
segera pamit dan bersalaman. Keluar rumah malah papasan dengan mamah papahnya
yang baru saja pulang. Sesegera mungkin aku kuasai raut muka dan mataku. Aku
ijin untuk pamit pulang ke mamah papahnya. Tadinya ada hal yang ingin aku
katakana ke papahnya. Tapi mulut udah terlanjur kelu. Jadi bergegas ku nyalakan
motor. Saat keluar pagar, masih sempat ku tatap Rya yang luar dari pintu depan
memandangiku saat ingin pergi. Jujur mataku udah ga kuasa lagi.
Belum sampai gigi 3, dan belum sampai
keluar gang rumahnya, air mataku sudah banjir. Sampai malu saat berpapasan
dengan orang di depan gang rumahnya. Sore itu sekitar jam 15.00 aku pulang
dengan perasaan, pikiran, dan hati sangat kacau. Sepanjang jalan aku menangis.
Saat lampu merah atau jalanan ramai, sebisa mungkin aku tahan air mata ini.
Saat jalanan sepi dan bisa sedikit ngebut, barulah aku tumpahkan tangis itu
dalam perjalanan. Aku bicara sendiri sambil nangis. Bahkan aku tak sadar harus
jalan ke arah mana. Sudah ga peduli dengan laju motorku.
Perasaan ini terlalu sakit. Sampai
benar-benar sakit secara fisik dada ini, dan perut pun tiba-tiba mules.
Beberapa kali pun aku sempat gelagapan karena kesulitan bernapas karena dada
dan kerongkongan terasa sesak. Aku bayangkan, seandainya di jalan pulang itu
aku kecelakaan parah pun, mungkin rasa sakitnya masih kalah dengan sakit di
dada ini. Saat itu aku pun berpikir, mungkin mati akan lebih baik daripada
menanggung derita dan sakit yang tiada tara ini. Tapi Allah masih melindungi.
Allah masih menyelamatkan nyawaku dari kecelakaan maut.
Cuma dua hal yang ada di pikiran saat itu,
Rya kembali padaku atau lebih baik mati. Aku kendarai motor dengan pelan. Tapi
terkadang aku pacu motor sampai kecepatan tinggi tanpa perhitungan apapun,
terlebih saat nyalip kendaraan lain. Otakku ga bisa berpikir jernih di jalan. Di
pikiranku cuma ada Rya, Rya, dan Rya.
Aku cuma berdoa semoga aku bisa mendapatkan
cintanya lagi. Semoga hatinya kembali seperti dulu lagi. Dan aku yakin dia
takdirku. Tapi menjalani proses ini yang terkadang aku tak tahan. Terlalu perih
dan sakit, bahkan luka di tubuhku tak dirasa sama sekali.
Semoga kau kembali ke pelukanku sayang
di ruang sunyi dalam tangisan,
Purbalingga, 29 Juni 2015
Wibiono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar