Halaman

Rabu, 01 Juli 2015

Tragedi 28 Juni: Lost in love



Apa yang dirasakan seandainya orang yang dicintai ternyata saat ini sudah ga ada perasaan lagi? Bahkan kini dia bebas dekati laki-laki manapun. Dengan entengnya dia bilang saat ini perasaannya biasa saja. Seolah lupa dengan komitmen dan janji-janji dulu ketika pacaran. Rasanya remuk hati ini, badan terasa panas, dada terasa sesak.
Kemarin, hari Minggu 28 Juni 2015 aku main ke rumah Rya di Temanggung dengan maksud hati silaturahmi sekaligus untuk memperbaiki suasana. Sengaja aku ga bilang kalau mau main. Sebab, beberapa kali aku ingin main ke rumahnya, selalu ada alas an kalau dia tidak di rumah hari itu, atau akan ada acara. Jadi ini ceritanya aku nekat. Kalaupun nanti ternyata Rya ga di rumah, ya ga masalah. Saat sampai di depan gang rumahnya sekitar jam 09.30, aku SMS dulu menanyakan ada agenda keluar ga hari itu. Ternyata ga dibalas. Akhirnya ku coba telpon ke nomornya, berkali-kali ku coba, tetapi ga ada jawaban. Akhirnya aku nekat dating. Memang rejekiku, ternyata dia ada di rumah. Agak terkejut dia ketika tau aku datang dengan kondisi dia belum mandi. Dia Tanya, kenapa aku tidak bilang dulu kalau mau datang. Dalam hatiku, kalau aku bilang kemungkinan dia akan beralasan lagi agar aku mengurungkan niat untuk mampir ke rumah. Padahal sekitar 15 menit sebelumnya pun aku sudah berusaha ingin memberitahu, tapi ga ada tanggapan. Alasannya karena dia sedang sibuk beres-beres. Padahal ketika aku sampai rumahnya, kondisi dia seperti baru bangun tidur. Harusnya SMS dan beberapa kali teleponku dia tau. Mungkin sengaja ga diangkat, ini kecurigaanku saja.
Akhirnya Rya meminta saya menunggu karena akan mencuci dan kemudian mandi. Sekitar sejam lebih aku bengong di ruang tamu menunggu, tanpa sebelumnya dia menghampiriku. Hanya lewat depan kamarnya dan menengok ke ruang tamu sambil lalu ketika aku datang. Ini juga yang membuat aku ga enak hati. Ga pernah sebelumnya dia begini.
Setelah menunggu akhirnya dia selesai beres-beres dan mandi, Rya menghampiri dan menyalamiku di ruang tamu dengan muka yang aku tangkap sangat berbeda. Bahkan muka dan matanya berusaha menghindar tatapanku. Ini hal lain yang membuat hatiku kembali ga enak.
Jujur, saat itu aku kembali canggung berhadapan dengan Rya. Grogi dan bingung harus membuka pembicaraan dari mana. Jantung ini berdetak kencang, keringat dingin membasahi telapak kaki dan tanganku. Saat ku buka pembicaraan, dia tengah asik memainkan HP-nya. Bahkan pembicaraan selanjutnya pun lebih sering dia senyum-seyum ke HP-nya, beberapa pertanyaanku pun sering tak dijawab. Ini hal lain lagi yang buat hatiku ga enak. Aku tanyakan ada agenda keluar atau engga. Dia bilang mungkin agak siangan dia akan keluar dengan teman-temannya walaupun ga tau pasti mau keluar ke mana. Dugaanku benar, pasti dia bakal alesan akan keluar. Ini jadi sebuah sinyal kalau aku ga perlu berlama-lama di rumahnya.
Akhirnya aku beranikan diri mendekat dengan duduk di sebelahnya. Ku coba meraih tangannya, tapi dia berusaha menolak. Aku ajak ngobrol dia sambil ku belai rambutnya, dia diam saja walaupun awalnya dia agak menghindar. Saat itu aku bilang minta maaf dan bilang kalau masih sayang dengannya. Tapi tanggapannya dia aneh, sok becanda dan menghindari pembicaraan.
Rya mulai bercerita tentang foto teman di instagramnya. Aku menangkap sinyal lain. Bahwa dia ingin menunjukan ada beberapa orang laki-laki yang sering main atau sekedar jalan-jalan dengannya. Dari cara dia bicara, aku menangkap bahwa dia ingin mengatakan “ini lho beberapa teman cowo yang dekat denganku, sering ngajak jalan-jalan, traktir makan, perhatian …..karena ga ada apa-apa lagi dengan kamu, jadi boleh dan bebas donk aku pergi dan dekat dengan siapapun..”
Aku hanya menanggapi dengan senyum seolah tak mengerti apa-apa. Padahal dalam hatiku mulai meneteskan air mata. Kemudian obrolan berlanjut ke hal lain, tapi kemudian ia bercerita tentang jalan-jalan dan perhatian teman-teman kantornya, khususnya yang cowo. Bahkan dengan gambling dia bilang beberapa cowo itu emang ada modus dan suka bahkan bilang dengan jelas banyak cowo yang bilang sayang. Bilangnya sih, semua ga di bawa perasaan, ga mau bermain hati. Tapi semua perhatian cowo itu keliatannya dia tanggapi semua. Dari cara dia bercerita, seolah ingin melihat reaksi cemburuku. Jujur aku sangat sangat cemburu dan makin sesak dada ini. Ini hal lain lagi yang membuat hatiku making a karuan.
Ketika aku bilang bahwa sekarang dia gemukan, dia jawab “iya donk, bahagia sekarang mah…” dengan ucapan yang penuh maksud. Aku pun paham maksudnya. Lagi-lagi aku pura-pura tenang menanggapinya. Tapi aku yakin dia masih paham dalam membaca pikiran dari tanggapan dan ekspresiku. Walaupun mungkin untuk orang awam pasti mengira aku biasa aja. Tapi aku sangat yakin Rya paham, karena memang cuma dia yang paham tentang hal yang tersembunyi dari aku. Walaupun sekuat tenaga aku berpura-pura di depan dia, pasti dia bisa membaca ada yang ga beres.
Saatnya adzan duhur pun tiba. Aku segera bergegas ke masjid sekaligus agar air mata ini ketika menetes tak terlihat olehnya. Dalam langkah menuju masjid, mataku sudah tak kuat dan berkaca-kaca. Sampai di masjid aku solat sunah ingin menumpahkan keluh kesah ini. Selesai sunah aku coba baca Ar-Rahman seingatku. Tapi baru beberapa ayat, dadaku makin sesak dan mataku tak tertahankan lagi. Aku malu karena di masjid orang mulai berdatangan. Untuk menutupi raut muka, aku tundukan kepala. Dadaku panas dan suaraku tercekat di tenggorokan.
Usai solat duhur kembali aku ke rumahnya. Sebisa mungkin pikiran aku alihkan ke hal-hal lain. Sampai di ruang tamu, tak lama kemudian Rya datang. Ternyata dia sudah mulai dandan. Ini pertanda kalau aku ga perlu lebih lama lagi. Dia sibuk dengan HP-nya, mungkin kontak dengan teman-temannya yang janjian mau jalan-jalan. Aku tanyakan jadi keluar kapan. Dia jawab nanti karena temannya baru mandi, katanya.
Kita mulai ngobrol-ngobrol lagi. Aku lihat dia mulai biasa lagi saat bicara dan bercerita, sudah mulai lepas. Tapi saat aku ngomong, dalam sekejap dia tertidur. Kebiasaan dia masih sama, cepat tidurnya. Obrolan selanjutnya setelah dia terbangun mulai ga ditangggapi karena dia makin asik SMS atau BBM-an mungkin. Aku tau kalau temannya akan segera meluncur ke rumahnya. Salah seorang temannya telepon. Dan sepintas aku dengar kalau temannya bertanya kalau tamunya udah pulang belum. Aku langsung bersiap-siap pamit. Kemudian tiba-tiba dia dimiscall temannya lagi. Kali ini sepertinya seorang laki-laki. Tanpa pikir panjang, dia langsung telpon balik dan menanyakan ada apa tadi telepon atau miscall. Sepertinya orang di seberang sana yang diajak berbicarapun menanyakan apakah aku sudah pulang, atau kapan pulangnya. Rya menjawab, “iya mungkin ini sebentar lagi mau pulang..” Dalam hatiku makin menjerit. Ini adalah sebuah sinyal pengusiran secara halus berikutnya. Yaa memang dia tuan rumah, dan aku hanya tamu. Aku pun makin cemburu. Sms ku sangat jarang dibalas, teleponku ga pernah diangkat, tapi kini dia sangat tanggap terhadap temannya itu. Seolah dia juga sekaligus ingin manas-manasin aku.
Jantungku serasa berhenti, ulu hatiku mendadak sakit serasa ada yang nonjok. Aku udah ga tahan, mataku berkaca-kaca di hadapan Rya sambil aku bilang maaf dan sayang. Tapi dia tetap bilang sudah biasa aja, udah ga ada perasaan. Ga mau nanggepin sayang-sayangan. Aku sudah jelaskan kalau aku cuma lagi focus untuk kita. Tapi dia ga peduli. Bahkan saat aku bilang target melamar dia bulan Desember pun seolah dia menolak.
Rya bilang kalau sudah memaafkan dan sudah tidak perlu ada yang dipersoalkan. Tapi kenyataannya sikap dia padaku akhir-akhir ini sama sekali ga mengindikasikan kalau dia sudah memaafkanku. SMS, BBm, WA ku tak pernah digubrisnya. Kalaupun dibalas hanya singkat dan hanya sekedarnya. Bahkan pertanyaanku seringkali tak dijawab. Telponku pun tak pernah diangkatnya. Sakit rasanya hati ini. Bilang dimaafkan tapi sikapnya masih seperti itu. Itulah yang membuat aku masih berat hati karena belum mendapat maafnya.
Saat mengucapkan maaf lagi dan ingin menjelaskan dan menanyakan hal lain, suara ini sudah sulit keluar. Cuma bisa nyangkut di tenggorokan. Air mata udah ga tahan untuk keluar. Akhirnya aku segera pamit dan bersalaman. Keluar rumah malah papasan dengan mamah papahnya yang baru saja pulang. Sesegera mungkin aku kuasai raut muka dan mataku. Aku ijin untuk pamit pulang ke mamah papahnya. Tadinya ada hal yang ingin aku katakana ke papahnya. Tapi mulut udah terlanjur kelu. Jadi bergegas ku nyalakan motor. Saat keluar pagar, masih sempat ku tatap Rya yang luar dari pintu depan memandangiku saat ingin pergi. Jujur mataku udah ga kuasa lagi.
Belum sampai gigi 3, dan belum sampai keluar gang rumahnya, air mataku sudah banjir. Sampai malu saat berpapasan dengan orang di depan gang rumahnya. Sore itu sekitar jam 15.00 aku pulang dengan perasaan, pikiran, dan hati sangat kacau. Sepanjang jalan aku menangis. Saat lampu merah atau jalanan ramai, sebisa mungkin aku tahan air mata ini. Saat jalanan sepi dan bisa sedikit ngebut, barulah aku tumpahkan tangis itu dalam perjalanan. Aku bicara sendiri sambil nangis. Bahkan aku tak sadar harus jalan ke arah mana. Sudah ga peduli dengan laju motorku.
Perasaan ini terlalu sakit. Sampai benar-benar sakit secara fisik dada ini, dan perut pun tiba-tiba mules. Beberapa kali pun aku sempat gelagapan karena kesulitan bernapas karena dada dan kerongkongan terasa sesak. Aku bayangkan, seandainya di jalan pulang itu aku kecelakaan parah pun, mungkin rasa sakitnya masih kalah dengan sakit di dada ini. Saat itu aku pun berpikir, mungkin mati akan lebih baik daripada menanggung derita dan sakit yang tiada tara ini. Tapi Allah masih melindungi. Allah masih menyelamatkan nyawaku dari kecelakaan maut.
Cuma dua hal yang ada di pikiran saat itu, Rya kembali padaku atau lebih baik mati. Aku kendarai motor dengan pelan. Tapi terkadang aku pacu motor sampai kecepatan tinggi tanpa perhitungan apapun, terlebih saat nyalip kendaraan lain. Otakku ga bisa berpikir jernih di jalan. Di pikiranku cuma ada Rya, Rya, dan Rya.
Aku cuma berdoa semoga aku bisa mendapatkan cintanya lagi. Semoga hatinya kembali seperti dulu lagi. Dan aku yakin dia takdirku. Tapi menjalani proses ini yang terkadang aku tak tahan. Terlalu perih dan sakit, bahkan luka di tubuhku tak dirasa sama sekali.
Semoga kau kembali ke pelukanku sayang

di ruang sunyi dalam tangisan,
Purbalingga, 29 Juni 2015

Wibiono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar